Dunia pendidikan kita sudah sering ganti kurikulum. Mulai dari kurikulum lama menjadi Kurikukum 1974 berubah menjadi Kurikulum 1978/1979, ganti ke 2004, ganti lagi menjadi CBSA yakni cara belajar siswa aktif hingga berubah menjadi Kurikulum Berbasis Kompetensi alias KBK. Lagi di tengah jalan menjadi kurikulum berbasis satuan pembelajaran. Belum genap setahun berubah menjadi Kurikulum 2013 alias K-13.
K-13 saja belum sepenuhnya dilakukan. Makanya, ada ujian akhir nasional dua paket yakni KBK dan K-13. Ini semua karena hasil studi banding pejabat kita di pusat yang cepat mengadopsi kurikulum negara maju. Namun, mereka lupa bahwa kondisi negara kita jauh berbeda dengan negara tempat studi banding. Maka jadilah kurikulum kita semuanya serba-jelimet dan tak bisa dijalamkan oleh guru.
Perlu kita ingat bahwa sehebat apa pun kurikulum jika kemampuan guru alias SDM pelakunya tak berkualitas atau hebat tetap saja jalan di tempat. Kita lihat saja implementasi K-13 yang melaksanakan pembelajaran berpusat pada siswa alias student centre, membuat sejumlah guru makin enak dan leha-leha.
Guru datang ke kelas cuma menyuruh siswa pelajari materi X dan mengerjakan soal. Setelah itu meninggalkan kelas sampai jam belajar berakhir. Padahal, ketika siswa berproses mereka memerlukan pendampingan guru agar tak salah jalan mencari materi penunjang.
Di sinilah diuji kehebatan guru agar PBM student centered tak sampai terputus. Padahal, guru sudah digaji tinggi lewat tunjangan sertifikasi. Seharusnya, komitmen guru makin tinggi guna menghasilkan lulusan yang makin berkualitas. Bekerja biasa-biasa saja belumlah cukup, melainkan harus dibarengi dengan kerja keras. Kurikulum bagus agar hasilnya bagus SDM guru harus tampil hebat.
Jika kinerja guru sama dengan sebelumnya, sangat tak mungkin kita bisa menerapkan model pembelajaran PAKEM yakni Partisipatif, Aktif, Kreatif, Efektif dan Menarik. Untuk bisa menjadi model, guru harus berani mengubah paradigma mengajarnya.
Banyak pakar berpendapat jika pendidikan benar-benar berpusat pada siswa, siswa harus dikonsultasikan tentang proses belajar dan mengajar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa umumnya memiliki pandangan yang sangat positif tentang pembelajaran yang berpusat pada siswa. Namun, mereka tidak yakin apakah sumber daya saat ini memadai untuk mendukung implementasi dan pemeliharaan yang efektif dari pendekatan semacam itu.
Kajian ini kembali memberi penekanan bahwa student centre penting namun guru tak tahu bagaimana caranya. Kedua dengan PBM berbasis digital semuanya harus serba-dimudahkan.
Guru tetap berfungsi sebagai fasilisator, bukan berlomba-lomba meninggalkan siswa sendirian mencari sumber belajar yang tepat. Dengan demikian, guru bisa mengevaluasi siswa sejak proses hingga hasil. Hasil belajar pun semakin efisien dan efektif.
Belajar dengan model literasi banyak ragamnya. Guru bisa menyuruh siswa mencari materi yang relevan dengan satuan pembahasan di media massa, elektronik atau mencari sumber baru lewat literasi digitalisasi. Semua konsep ini bagus, tinggal guru mau dan berkomitmen memberi pendidikan yang terbaik. Kurikulum hebat harus didukung SDM guru sebagai pelaksana kurikulum yang hebat juga.