Perpustakaan sekolah memiliki fasilitas tersendiri. Pada tahun 1990-an, perpustakaan sekolah adalah ruang baca yang sangat nyaman bagi siswa. Novel dan buku-buku pelajaran menjadi pilihan.
Jumlah judul buku dan keragaman topik yang tersedia juga nyaris memadai. Kondisi ini tampaknya juga makin berkembang dan nyaman pada era ini.
Sayangnya, belakangan jam kunjung perpustakaan sekolah nyaris minim. Yang lebih sering terjadi adalah jam kunjungi website di handphone siswa. Ini adalah efek dari pembejalaran berbasis teknologi dan terlalu seringnya guru memberikan tugas-tugas yang berhubungan dengan handphone.
Makanya, tak heran jika belakangan banyak siswa lebih banyak ada di warnet. Padahal jika ada gerakan yang jelas, mereka bisa diarahkan menuntaskan tugas-tugas pembelajaran di perpustakaan.
Ke depan, hal semacam itu hendaknya dimbangi dengan motode pembelajaran yang mengarahkan anak mengerjakan tugas-tugas di perpustakaan sekolah. Buku-buku yang ada haruslah menjadi bagian pembelajaran, bukan sebatas koleksi perpustakaan sekolah.
Jadi, haruslah ada kebijakan yang jelas untuk menjadikan perpustakaan sekolah lebih berperan dalam peningkatkan kecerdasan siswa. Jadikan perpustakaan sekolah sahabat anak. Gerakan ini tentu harus dijabarkan dengan target membangun budaya membaca.
Gerakan ini pun telah dijabarkan di sekolah dalam upaya membiasakan anak mengunjungi perpustakaan. Namun, gerakan ini masih sebatas program formal. Anak merasa wajib membaca ketika ada pengawasan. Hal semacam ini tentu kita harapkan terus bergerak sampai pada bangunnya kesadaran membaca.
Dari sisi fasilitas, negeri ini sebenarnya sudah memiliki fasilitas yang memadai. Perpustakaan sekolah, desa, dan perpustakaan keluarga mestinya bisa dijadikan ruang untuk itu. Bahkan, perpustakaan mobil juga telah banyak digulirkan. Ini tentu sebagai terobosan membuat ruang makin dekat dengan masyarakat.
Bahkan, belakangan, pengelolaan perpustakaan juga melakukan berbagai terobosan untuk mengajak dan mengedukasi warga gemar membaca. Sayangnya, tantangan menjadikan perpustakaan sahabat atau ruang baca terkendala banyak hal. Mulai dari rendahnya minat baca dan bergesernya cara mendapatkan informasi. Teknologi informasi yang berkembang pesat patut juga dicatat sebagai tantangan.
Masalahnya, teknologi informasi membuat anak menghabiskan waktunya membaca dalam media handphone. Buku akhirnya menjadi pilihan kedua setelah mereka merasa wajib atau terpaksa membacanya.
Di tengah lesunya minat baca ini, syukurnya Kemendikbud juga giat mengembangkan program literasi. Tak hanya di sekolah, literasi kampung atau literasi desa juga digarap. Tujuannya untuk meningkatkan minat baca, membuat pemuda kian beraktivitas serta berwawasan luas.
Jadi, pada dasarnya budaya bisa diawali dengan gerakan wajib. Artinya, harus ada sedikit paksaan pada babak awal agar anak-anak terbiasa mengunjungi perpustakaan. Reward mungkin saja bisa diberikan kepada anak-anak yang sering datang dan membaca di perpustakaan. Hal lainnya, adalah menata ruang perpustakaan menjadi ruang yang nyaman untuk anak, bukan menjadi ruang koleksi buku semata. Kenyamanan berada di perpustakaan sekolah hendaknya menjadi salah satu strategi selain menyediakan buku yang beragam.