Ilustrasi. (BP/dok)

Oleh I Wayan Dira Arsana

Perubahan kini merambah berbagai sektor kehidupan. Teknologi dan industri 4.0 menuntut adanya adaptasi dan elaborasi dalam pengelolaan profesi, sosial-ekonomi, lapangan kerja bahkan mungkin akan merembet pada  strategi pewarisan tradisi, kultur, temasuk pemertahanan budaya. Internet  dengan berbagai variannya telah menjadi perantara yang mampu membuat berbagai isu bergerak dengan cepat.

Teknologi digital dengan media sosialnya telah membawa dunia bergerak menuju peradaban baru. Peradaban yang membuat orang menjauh dari interaksi kehidupan sosial dan cenderung individualis. Dinamika semacam ini tentu harus diantisipasi dengan menyiapkan generasi dan elemen bangsa lebih awal.

Era digital yang bergerak dan menembus semua ruang tentu harus disikapi secara arif dan perlunya kontrol yang jelas. Era digital dengan beragam variannya tak boleh tumbuh liar tanpa ada regulasi dan kehadiran pemerintah dalam mengendalikannya. Ketidaksiapan memaknai dan menyaring serta memilah ragam informasi nyaris mengoyak rasa persatuan dan kebersamaan dalam merawat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Kini, ketika potensi konflik terus mengemuka, ancaman disintegrasi menguat serta isu-isu suku, ras, agama dan antargolongan (SARA) makin mudah disebarluaskan, maka filternya harus jelas dan terukur. Memupuk kearifan lokal, penguatan multikultural dan memperkuat kepekaan berbangsa dengan membangun ruang komunikasi yang jelas harus dikondisikan. Diplomasi sosial mestinya dibangun dan dibudayakan. Bangsa ini harus bergerak cepat dan terukur menuju satu kesepahaman yang utuh untuk menjaga kesatuan dan persatuan bangsa dengan spirit nasionalisme yang kuat.

Baca juga:  Optimalisasi Perpustakaan sebagai Sumber Belajar

Terkini, dalam kasus Papua, misalnya, langkah pemerintah patut diapresiasi. Ketika konflik tersulut akibat kontens hoaks pendekatan yang dilakukan pemerintah patut diapresiasi. Meskipun ada berbagai pendekatan ditawarkan elemen bangsa, pemerintah tetap memilih langkah persuasif dengan membangun diplomasi sosial dan diplomasi politik yang jelas. Kecakapan komunikasi mengatasi konflik memang layak dibangun.

Langkah ini tentu bisa dijadikan salah satu paramater bagi bangsa ini di kemudian hari jika menghadapi kondisi serupa terutama terkait ancaman disintegrasi bangsa. Pembatasan akses internet, melakukan komunikasi politik dan menyadarkan kembali tentang kedaulatan dan makna persatuan dan kesatuan dalam wadah NKRI tentu layak kita kedepankan.

Idealnya, ketika potensi konflik bisa diprediksi tentu solusi mengatasi konflik patut kita petakan pula. Dalam konteks kekinian dan pada era digital saat ini maka kecakapan komunikasi dan literasi terhadap struktur kemasyarakatan hendaknya menjadi rujukan.

Kearifan lokal yang selama ini sebagai pengikat kekerabatan hendaknya diberikan ruang untuk tumbuh dan berkembang. Merawat kembali simpul-simpul budaya dan penguatan karakter kebangsaan adalah hal mendasar yang mesti ditumbuhkembangkan.

Indonesia sebagai bangsa yang besar dengan sebaran jumlah pulau 17.0505 pulau — 16.056 diakui PBB — dengan jumlah penduduk 268 juta lebih, serta 1.331 kelompok suku dan 1.001 lebih bahasa daerah haruslah kita rawat dengan toleransi kebangsaan yang utuh. Untuk itulah, terorisme, ancaman disintegrasi bangsa serta merebaknya kontens hoaks jangan sampai menjadi penghalang terbangunnya rasa persaudaraan dalam memupuk rasa kebangsaan.

Baca juga:  Kesesatan Berpikir Dalam Debat

Kesadaran bahwa kita hidup dalam bangsa yang majemuk atau multikultural dengan beragam suku, ras, agama dan antargolongan hendaknya juga  menyadarkan kita tentang makna pentingnya merawat rasa kebangsaan dan persatuan. Membumikan empat pilar kebangsaan — Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) — yang selama ini digaungkan dalam setiap kesempatan adalah hal mutlak yang harus dilakukan. Yang jelas, kesadaran untuk merawat toleransi dalam era multikultural haruslah dibangun.

Pendidikan Multikultural

Selain itu, dalam konteks pembelajaran untuk menyiapkan generasi bangsa yang kuat dalam membela kesatuan dan persatuan bangsa, pendidikan multikultural menjadi sangat strategis. Hal ini makin strategis untuk dikembangkan ketika rasa toleransi terhadap perbedaan suku dan agama, bahkan sekadar menghargai perbedaan pendapat, ternyata sangat rendah. Orang cenderung menilai dan menghakimi perbedaan yang ada, tanpa mau memberikan sedikit rasa hormat kepada pihak lain.

Menurut Jose A. Cardinas (1975:131), pentingnya pendidikan multikultural ini didasarkan pada lima pertimbangan: Pertama, incompatibility (ketidakmampuan hidup secara harmoni). Kedua, other languages acquisition (tuntutan bahasa lain). Ketiga, cultural pluralism (keragaman kebudayaan). Keempat, development of positive self-image (pengembangan citra diri yang positif). Dan kelima, equility of educational opportunity (kesetaraan memperoleh kesempatan pendidikan).

Baca juga:  Hadiri Peringatan Maulid Nabi, Komitmen Nyata Giri Prasta Pupuk Toleransi

Pentingnya pendidikan multikultural dilatarbelakangi beberapa asumsi di antaranya setiap budaya dapat berinteraksi dengan budaya lain yang berbeda, dan bahkan bisa saling memberikan kontribusi. Serta adanya keragaman budaya dan interaksinya merupakan inti dari masyarakat dewasa ini.

Hal lainnya mencakup keadilan sosial dan kesempatan yang setara bagi semua orang merupakan hak bagi semua warga negara termasuk sistem pendidikan memberikan fungsi kritis terhadap kebutuhan kerangka sikap dan nilai demi kelangsungan masyarakat demokratis.

Untuk itulah, untuk memupuk dan bergerak merawat rasa kebangsaan nilai-nilai kearifan lokal, kearifan sosial dan kearifan budaya dapat dijadikan sebagai tali kebangsaan. Dengan nilai kearifan sosial dan kearifan budaya, akan berusaha mengeliminir berbagai perselisihan dan konflik budaya.

Pendidikan multikulturalisme menjadi penting dikembangkan dan diinternalisasikan dalam proses transformasi nilai-nilai masyarakat dan bangsa yang beragam ini, termasuk di persekolahan melalui pendidikan multikultural. Sebab, prinsip-prinsip dasar multikulturalisme mengakui dan menghargai keberagaman kelompok masyarakat seperti etnis, ras, budaya, gender, strata sosial, agama, perbedaan kepentingan, keinginan, visi, keyakinan dan tradisi. Ini akan sangat membantu terwujudnya perubahan format perilaku sosial yang kondusif dan sangat menjanjikan di tengah kehidupan masyarakat yang majemuk.

Penulis, wartawan utama Kelompok Media Bali Post

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *