Bali Belum Bebas Rabies
Ilustrasi. (BP/dok)

DENPASAR, BALIPOST.com – Buleleng merupakan salah satu kabupaten ”zona merah” rabies selain Karangasem dan Bangli. Padahal, upaya penanganan yang nyata dan terintegrasi sudah dilakukan dari tingkat pemerintah daerah lewat Dinas Peternakan sampai ke masyarakat. Tidak tertutup kemungkinan upaya serupa dilakukan di kabupaten lain yang sama-sama masih masuk zona merah.

Hal itu diungkapkan anggota Fraksi PDI-P DPRD Bali Putu Mangku Mertayasa yang juga mantan Ketua Komisi I DPRD Buleleng, di gedung dewan, Selasa (17/9).  “Kenapa saya katakan seperti itu, karena memang ada sebuah tindakan nyata atau penanggulangan secara terintegrasi yang dikoordinir puskesmas bekerja sama dengan desa melibatkan pecalang dan hansip,” ujar politisi asal Buleleng ini.

Hal pertama yang dilakukan adalah sosialisasi kepada para pemilik anjing. Setelah itu baru mengadakan eliminasi selektif khususnya pada anjing liar, di samping vaksinasi. “Kebetulan saya juga ikut terjun di lapangan. Jadi, banyak kami temukan anjing-anjing yang tidak bertuan, ya terpaksa dieliminasi,” jelasnya.

Baca juga:  DKPPU Berkomitmen Bangun Zona Integritas Menuju WBK

Kalaupun masih ada yang belum terdeteksi, menurutnya manusiawi. Hal itu harus dijadikan sebagai motivasi bagi dinas terkait untuk tetap melakukan koordinasi dan komunikasi yang intensif dengan desa adat. Apalagi Buleleng masih masuk dalam zona merah rabies meskipun sudah dilakukan upaya penanganan yang begitu gencar. “Kami sangat sadari bahwa demografi Buleleng, jumlah penduduk, dan wilayahnya sangat luas. Buleleng kan hampir 30 persen Pulau Bali. Ini salah satu kendalanya,” imbuhnya.

Selain itu, lanjut Mangku Mertayasa, masyarakat yang memiliki terlalu banyak anjing umumnya membuang begitu saja di suatu tempat. Akibatnya, anjing-anjing tersebut menjadi liar atau tak berpemilik dan berisiko terkena rabies. Di sisi lain, masyarakat sangat sadar akan pentingnya penanganan rabies. Hal itu dibuktikan dengan kedatangan mereka ke tempat-tempat yang ditunjuk sebagai lokasi vaksinasi, kemudian ikut membantu petugas pada saat melakukan eliminasi. Ia pun memberi masukan agar kegiatan sosialisasi, vaksinasi, dan eliminasi selektif dijadwalkan secara pasti sebagai sebuah rutinitas penanganan.

Baca juga:  Sosialisasi COVID-19, Pemkot Libatkan TNI dan Polri

Kelompok Ahli Pembangunan Pemprov Bali Prof. Dr. Ir. I Wayan Supartha, M.S., mengatakan, kasus rabies bukanlah sesuatu yang baru, tapi bersiklus. Kendati ada indikasi penurunan sejak Bali terjangkit pada 2008, untuk menolkan kasus positif rabies masih memerlukan proses. Sekalipun sudah ada komitmen dari berbagai pihak untuk bersama-sama melakukan penanganan “Tapi ketika upaya itu dilakukan, ternyata tidak menyelesaikan masalah. Pasti ada metode yang salah,” ujarnya.

Supartha menambahkan, pengendalian rabies harus memakai sistem gertakdal atau gerakan serentak pengendalian. Oleh karena itu, akademisi Universitas Udayana ini menyarankan agar dilakukan pemetaan sesuai lokus dan fokusnya. Lokus yang dimaksud adalah lokasi-lokasi per kabupaten di mana kasus rabies terjadi, berapa jumlahnya per kabupaten, seperti apa kasus yang ada, dan apa penyebab kasus itu terjadi.

Baca juga:  Polda Bali Kerahkan Ribuan Personel Amankan WWF

Dari pemetaan tersebut, lanjut Supartha, bisa dilakukan komparasi terkait penanganan dan penyebab kasus rabies. Selain itu, pemetaan juga untuk mengetahui titik lemah penanganan, terutama pada daerah-daerah zona merah. Apakah karena jumlah anjing yang banyak atau kondisi daerah yang memiliki banyak semak dan parit sebagai tempat persembunyian anjing. Keterlibatan masyarakat lokal juga dibutuhkan dalam upaya penanganan rabies. “Ini perlu edukasi kepada masyarakat supaya nanti paham betapa pentingnya penanggulangan rabies ini bagi keselamatan masyarakat itu sendiri,” imbuhnya. (Rindra Devita/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *