DENPASAR, BALIPOST.com – Wacana kenaikan iuran BPJS Kesehatan terus bergulir di pusat. Pemprov Bali pun sudah menghitung konsekuensi tambahan anggaran untuk menanggung Penerima Bantuan Iuran (PBI). Kenaikannya hampir dua kali lipat dari yang dialokasikan Pemprov Bali tahun ini, sehingga akan sangat membebani APBD, bahkan dapat mengganggu fiskal di daerah.
“Sekarang ini besaran preminya Rp 23 ribu per orang, akan naik menjadi Rp 42 ribu, hampir 100 persen. Di Bali tahun ini sudah berlaku kebijakan untuk 95 persen Universal Health Coverage (UHC) JKN-KBS. Sudah kita hitung konsekuensi tambahan anggarannya itu hampir dua kali lipat,” ujar Gubernur Bali Wayan Koster di Jayasabha, Denpasar, Selasa (17/9).
Tahun ini, lanjutnya, anggaran yang digelontorkan untuk program JKN-KBS Rp 495.671.353.200. Rinciannya, Rp 170.468.649.798 bersumber dari APBD Provinsi, sedangkan sisanya Rp 325.202.703.402 bersumber dari APBD kabupaten/kota se-Bali. Skema yang dipakai adalah sharing, 51 persen dari provinsi dan sisanya oleh kabupaten. Kecuali Gianyar dengan persentase 40 persen provinsi dan 60 persen kabupaten, serta Denpasar dan Badung yang sudah mampu mandiri.
Pada 2020, Badung dan Denpasar akan dialokasikan 10 persen. “Kalau kita hitung (kenaikan iuran-red), Provinsi akan menanggung Rp 300 miliar lebih. Totalnya dengan kabupaten/kota Rp 700 miliar lebih, kan berat ini. Nanti kabupaten tersedot banyak anggarannya,” jelasnya.
Koster mengaku akan mengevaluasi konsekuensi tambahan anggaran tersebut, terutama dari segi data masyarakat yang masuk kategori PBI. Data yang ada saat ini akan dicermati dan dianalisis kembali. Begitu juga sejumlah lembaga atau perusahaan di Bali yang cukup banyak belum menjalankan kewajiban menanggung karyawannya.
“Ini kami akan data lagi dalam waktu beberapa bulan ini, agar yang betul-betul menjadi kewajiban pemerintah pusat melalui APBN dan pemerintah daerah melalui APBD adalah orang yang pantas menerima hak itu,” ujarnya.
Menurut Koster, angka kemiskinan di Bali 3,9 persen atau sekitar 200 ribu penduduk inilah yang harus dikejar untuk menjadi PBI. Atau yang menjadi tanggung jawab utama pemerintah dan pemerintah daerah. Tapi kenyataannya saat ini APBD menanggung 700 ribu penduduk dan itu pun di luar yang ditanggung APBN.
“Jadinya kontradiksi. Banyak orang yang sebenarnya mampu, ada yang pegawai negeri, ada yang pegawai BUMD, karyawan perusahaan karena perusahaannya tidak memberikan jaminan BPJS, dan ada juga yang karena memang tak ingin daftar jadi peserta BPJS akhirnya masuk,” paparnya.
Koster menambahkan, menurut Undang-undang asal tidak mendaftar maka harus ditanggung oleh negara. Padahal setelah dianggarkan, yang bersangkutan belum tentu memakai. Tapi lantaran berbentuk premi dan dianggarkan, saat tidak dipakai pun akhirnya bisa dibawa ke mana-mana karena merupakan sharing publik. (Rindra Devita/balipost)