Sebagai sebuah kebiasaan, budaya Indonesia itu mencontoh apa yang dilakukan oleh pihak yang berada pada struktur lebih di atas. Akan bagus juga memang hal itu sesuai dengan kondisi. Tetapi tidak akan baik apabila sekadar mencontoh. Atasannya memakai kaus jika ke kantor, jelas tidak baik dicontoh oleh bawahannya.
Tetapi jika itu contoh prestasi akademik misalnya, ya disilakan mencontoh. Demikian pula halnya dengan pemindahan ibu kota. Jakarta secara struktural merupakan atasan bagi kota-kota lain di Indonesia. Jika Jakarta sudah tidak dipakai lagi sebagai ibu kota negara, jangan-jangan juga akan dicontoh oleh kota lain untuk pindah. Ini sekadar kekhawatiran mengingat ada kebiasaan latah di Indonesia.
Tentu kita berharap tidak demikian adanya. Kita harus perluas pikiran kita soal perpindahan kota ini. Jika kita lihat Jakarta, memang kondisinya sudah tidak memungkinkan lagi untuk menjadi ibu kota Indonesia. Konon kolonialis Belanda itu menciptakan Batavia hanya untuk ditempati oleh maksimal 800.000 orang.
Kini, penduduk Jakarta sudah lebih dari 10 juta jiwa. Secara logika, tidak akan mungkin mampu untuk memberikaan kenyamanan bagi penduduknya. Apalagi memberikan suasana nyaman untuk berpikir dan mengelola negara oleh para politisi. Macet saja sudah memberikan kejengkelan dan suasana seperti ini pasti tidak bagus untuk berpikir membuat kebijakan secara baik. Jadi, suasana kota sangat menentukan bagaimana kualitas keputusan politik yang dibuat.
Dengan alur pemikiran seperti itu, sudah jelas ibu kota Indonesia perlu dipindahkan ke tempat lain. Bahwa kemudian pilihannya jatuh ke Kalimantan Timur tentu mempunyai segala macam alasan. Tetapi bagi kita pilihan ini positif untuk memperlihatkan kepada masyarakat Indonesia, bahwa negara bangsa kita memang majemuk. Tidak semuanya berpusat di Jawa. Kalimantan juga merupakan pulau yang paling relatif bebas dari bencana alam. Tidak seperti Jawa, Bali, Lombok, dan pulau lainnya.
Tidak perlu bagi daerah lain seperti provinsi, kabupaten atau kecamatan ikut-ikutan pindah ibu kota. Terutama di wilayah yang padat penduduk seperti Jawa dan Bali, perpindahan ibu kota justru akan menambah masalah baru.
Yang paling dikhawatirkan adalah merusak lingkungan. Harus digarisbawahi hal ini. Pemindahan kota pasti akan mengambil lahan yang sebelumnya hijau atau lahan pertanian. Kebiasaan yang ada selama ini di Indonesia adalah merambah daerah-daerah pertanian untuk dibuat sebuah wilayah baru.
Silakan lihat pusat-pusat perkotaan yang baru dibangun. Jika itu dilakukan di Bali, sungguh merupakan kecelakaan fatal. Subak yang begitu sistematisnya membuat aturan air dan mengelola pertanian, dirusak oleh pemikiran lain demi membangun sebuah kota baru. Pemindahan kota pasti juga akan diikuti oleh munculnya permukiman baru. Ini lagi-lagi menjadi ancaman bagi wilayah pertanian yang ada.
Maka, khusus untuk tingkat di bawah ibu kota negara, sebaiknya pikiran yang muncul adalah kepraktisan. Teknologi sekarang sudah memungkinkaan bagi perkantoran untuk bergerak secara praktis. Asalkan para pejabat tidak berpikiran feodal, yang harus disambut taraian saat melakukan kunjungan, maka kita pasti akan dapat mengefisienkan manajemen pemerintahan. Surat bisa lewat elektronik.
Perintah dan kebijakan juga dilakukan seperti itu. Rapat akan dapat dikurangi apabila kita mampu membuat perintah yang efisien. Kunjungan lapangan juga dapat dipermudah jika secara jujur kita mampu melaporkannya melalui tayangan gambar elektronik.
Kita tidak perlu lagi bermewah-mewah untuk melakukan segala macam upacara jika itu sekadar sambutan. Dengan cara itulah, kita akan dapat memberika ruang yang lebih baik untuk mengelola administrasi pemerintahan.