Ilustrasi. (BP/Dokumen Swara Tunaiku)

Oleh Gusti Agung Gede Artanegara

Setelah Jepang kalah akibat serangan bom atom dari pesawat B 29 milik Amerika yang meluluhlantakkan Kota Hiroshima dan Nagasaki, situasi genting tersebut ingin dimanfaatkan oleh para pejuang untuk menyatakan kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 17 Agustus 1945 pukul 10.00 WIB dengan disaksikan oleh ratusan patriot, Soekarno yang didampingi oleh Moh. Hatta membacakan teks proklamasi yang dilanjutkan dengan pengibaran Sang Saka Merah Putih yang dijahit oleh tangan ibu Fatmawati. Cahaya mentari kemerdekaan menyinari perjuangan melawan gelapnya penjajahan.

Bali yang berjarak kurang lebih 1.200 Km belum mengetahui kabar proklamasi ini. Serdadu Jepang yang ada Bali masih petantang-petenteng dengan tetap memutar propaganda Jepang di Radio, padahal Kaisar Hirohito sudah menyampaikan kekalahan terhadap Blok Sekutu. Muda-mudi Bali walaupun sudah mendengar desas-desus proklamasi di Jakarta tetapi mereka masih menunggu I Gusti Ketut Pudja utusan Bali yang ikut serta menghadiri proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Dalam rentang waktu dari akhir Agustus hingga Oktober 1945 baru seluruh lapisan masyarakat Bali menerima kabar proklamasi sebagai tanda kemerdekaan yang berhasil diraih.

Baca juga:  Dari Badung untuk Bali Menuju Indonesia Maju

Setelah 74 tahun kemerdakaan merupakan capaian panjang dalam perjalanan kemerdekaan bangsa Indonesia, sumber daya alam yang melimpah bukan jaminan menjadi tumpuan kemajuan bangsa Indonesia. Dalam pidato kenegaraan yang disampaikan oleh Presiden ke-7 Indonesia, Joko Widodo, dalam Sidang Tahunan MPR-RI bahwa “Membangun manusia Indonesia adalah investasi kita untuk menghadapi masa depan dan melapangkan jalan menuju Indonesia Maju. Kita siapkan manusia Indonesia menjadi manusia unggul sejak dalam kandungan sampai tumbuh mandiri”. Berarti salah satu upaya yang harus dimiliki oleh manusia unggul Indonesia adalah kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam menghadapi persaingan global pada era digitalisasi ini.

Bali saat ini sudah jauh berubah pascaproklamasi, teknologi dan informasi sudah meluncur cepat sampai ke pelosok desa hingga menyusup ke sekat-sekat budaya. Infrastruktur komunikasi yang dibangun pemerintah memudahkan masyarakat menerima informasi dari mana saja. Bali yang memiliki karakter budaya yang kuat membutuhkan muda-mudi yang mampu menjaga, merawat, dan melindunginya.

Generasi muda Bali saat ini mulai mencerdaskan budaya dengan mengkolaborasi teknologi dan budaya. Teknologi jejaring sosial yang diciptakan untuk berbagi pesan berupa foto maupun video menjadi medium yang diunggulkan dalam penyebaran seni dan budaya Bali di kalangan milenial. Geliat sanggar pribadi maupun milik banjar menjadi salah satu minat anak-anak muda mengisi kegiatan mereka, seakan menjadi motivasi diri memberikan yang terbaik dan terindah sehingga viral di dunia maya.

Baca juga:  "Soft Skills" Pada Pembelajaran Kampus Merdeka

Bagi generasi milenial Bali khususnya di perkotaan bahwa internet hampir menyamai dengan kebutuhan primer. Dengan internet dan teknologi ponsel pintar (smartphone) menjadi sahabat baik yang menemani mereka dari bangun tidur hingga menjelang tidur. Kemampuan teknologi smartphone dalam menemani keseharian mereka tidak lepas dari berbagai kategori startup yang dapat dipilih dan disesuaikan akan kebutuhan penggunanya.

Startup Super app yang merambah kota-kota di Bali memberikan gambaran bahwa apa yang diinginkan oleh masyarakat tersebut adalah kemudahan, praktis, dan efisien. Pembayaran air, PLN, gas, asuransi, transportasi, makanan, dan gaya hidup urban lainnya bisa dicari dan dibeli melalui ponsel pintar.

Baca juga:  Karakter : Muara Akhir Pendidikan

Oleh karena hal tersebut sumber daya manusia yang unggul tidak hanya bersambat dengan teknologi tetapi cerdas, berkarakter dan berbudaya. Teknologi dan internet yang tidak didasari dengan kecerdasan pengguna maka konsekuensinya adalah fatal.

Tahun 2016, salah satu toko di Nusa Dua sempat dihancurkan massa terkait penyebaran berita hoax yang disebarkan oleh orang yang tidak bertanggung jawab sehingga merugikan pemilik toko yang notabene bukan pelaku utamanya. Bali Selatan yang banyak dikunjungi pelancong nusantara maupun mancanegara secara tidak langsung menancapkan hegemoni teknologi dalam pertukaran budaya tersebut.

Sudah menjadi keharusan Bali menjadi kota ramah teknologi, memberikan literasi teknologi pada masyarakat menjadi keniscayaan. Merdeka dari penjajahan kolonial melalui perang fisik sudah 74 tahun yang lalu. Saat ini, kita bersiap diri untuk masuk ke dalam era digital. Melek teknologi bukan berarti bebas menggunakan teknologi, tetapi dengan kecerdasan, moral dan kepekaan mampu menggunakan teknologi untuk menuju Indonesia Maju dan Berbudaya.

Penulis, pemerhati teknologi dan budaya Kemendikbud RI

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *