Polemik seputar masalah KPAI dengan proses penggalian bibit atlet bulu tangkis yang dilakukan PB Djarum menyita perhatian banyak kalangan. Tidak hanya para pencinta olahraga badminton itu tetapi sudah meluas.
Melibatkan banyak kalangan, apalagi kemudian tersedia medium dunia maya. Lewat media sosial ini pula, panggung silang sengketa itu berlanjut. Akhirnya tercipta titik temu.
Sehingga kedua pihak sama-sama merasa sudah punya kanalisasi untuk kepentingannya masing-masing. KPAI merasa lega karena tidak ada lagi brand Djarum yang sudah sangat lekat dengan rokok dan Djarum sendiri sudah merasa legawa bahwa niat baiknya itu tidak lagi ditafsirkan dengan hal-hal lain.
Tajuk ini bukan membicarakan soal substansi masalah antara KPAI dan PB Djarum karena hal itu sudah diulas panjang lebar oleh kedua belah pihak dan juga para pengamat, ahli, pihak berkompeten, pemerintah dan juga para warganet. Tetapi lebih banyak pada kebiasaan atau mungkin ‘’budaya’’ kita yang senantiasa lebih banyak disibukkan oleh hal-hal yang sifatnya sampingan, bukan inti. Kalau di sini ditulis atau dipilih kata sampingan, mungkin akan disanggah karena masalah rokok bukanlah masalah sampingan.
Bukan itu masalahnya. Kita sering kali lebih terjebak pada hal-hal yang sepertinya tidak perlu dibuat besar. Soal olahraga, kita lebih sering memikirkan atau menyebabkan masalah hiruk-pikuknya.
Gempitanya, seremonialnya, masalahnya serta wacananya. Bukan soal yang menukik pada prestasi. Tidak hanya bulu tangkis. Terlebih-lebih lagi sepak bola. Padahal yang dijunjung tinggi di olahraga itu adalah sportivitas, kejujuran, kelegawaan, serta saling menghargai lawan serta menerima kemenangan ataupun kekalahan secara terhormat. Itu inti olahraga.
Tetapi yang lebih banyak dipertontonkan adalah kebalikannya. Banyak kalangan sekarang lebih mengutamakan eksistensi. Selalu ingin dianggap eksis walau tidak bermutu sama sekali. Kembali kepada soal olahraga tepok bulu ini. Kita sudah melihat bagaimana bulu tangkis sudah mengharumkan nama bangsa di arena internasional.
Ada nama Rudi Hartono, Liem Swie King, Susi Susanti, dan lain-lain. Mereka mengibarkan bendera Merah Putih di berbagai arena pertandingan di dunia. Pembinaan atlet sejak dini adalah sebuah keniscyaan. Tidak semua perusahaan besar mau dan mampu melakukan itu. Ada catatan sejarah penting yang ditorehkan. Bukan kemarin sore. Itu sebuah proses.
Kalau kemudian datang sekelompok orang mengatakan ini itu dan membuat sebuah sistem itu tidak jalan, siapa yang akan bertanggung jawab? Menciptakan sebuah kegaduhan itu gampang. Menciptakan sebuah prestasi itu sulitnya minta ampun. Bukan sekadar dianggap eksis maka bisa semaunya dengan menjungkirbalikkan fakta serta logika. Tidak semudah itu. Jangan terlalu terbawa perasaan dan mengajak masyarakat lain untuk ikut berada di dalamnya.
Kita sering kali kehilangan fokus. Ini salah satu kelemahan bangsa ini. Hanya dengan berusaha menciptakan opini dan berharap sesuatu yang baru terjadi dengan waktu sekejap. Kita juga sering kali apriori. Lebih mendahulukan perasaan ketimbang logika. Bahasa kininya, lebay.
Kita sering kali seperti itu dalam mendukung ataupun menentang sesuatu. Bersikap wajar serta objektif itu perlu diasah dan dibangun. Konstruksi masyarakat madani memerlukan sebuah kesatuan pemikiran dari masyarakat yang cerdas.