SEMARAPURA, BALIPOST.com – Rencana pemerintah daerah untuk melakukan pinjaman jangka pendek ke bank, untuk menutupi arus kas RSUD Klungkung, disorot kalangan dewan. Sejumlah fraksi mempertanyakan pinjaman sebesar Rp 13,5 miliar tersebut, sebagai akibat dari keterlambatan pembayaran klaim RSUD Klungkung oleh BPJS Cabang Klungkung.
Pinjaman ini dikhawatirkan bisa melanggar PP Nomor 56 Tahun 2017 tentang Pinjaman Daerah. Legislator PDIP Wayan Misna, Senin (23/9), mengatakan pinjaman ini menggunakan metode Supply Chain Financing (SCF), yang merupakan pembiayaan melalui perbankan yang menjadi mitra BPJS.
Model ini disepakati pemerintah pusat, untuk menanggulangi defisit anggaran BPJS. Agar, BPJS secara nasional mampu membayar klaim rumah sakit negeri maupun swasta yang bermitra dengan BPJS.
Namun, menurut Fraksi PDIP, seharusnya BPJS sendiri yang melakukan pinjaman dengan mitranya, bukan pemerintah daerah. Sebab, metode ini dirasakan aneh, karena seolah-olah pemerintah daerah melakukan pinjaman untuk menutupi kekurangan kasnya sendiri. “Apa pertimbangan bupati melakukan pinjaman jangka pendek in?, padahal seharusnya justru dilakukan oleh BPJS,” kata politisi PDIP asal Nusa Penida ini.
Tidak hanya Fraksi PDIP, Fraksi Gerindra, juga menyorot persoalan ini. Gerindra melalui legislator I Wayan Widiana, mempertanyakan, apa yang melatarbelakangi pemerintah daerah melakukan skema seperti ini, melakukan pinjaman untuk lembaga lain.
Demikian juga Fraksi Hanura, melalui Luh Andriani, juga ingin Bupati Klungkung Nyoman Suwirta untuk menjelaskan lebih jauh, bagaimana teknis pinjaman dana talangan tersebut.
Sekda Klungkung Putu Winastra, sebelumnya mengatakan skema rencana mengajukan peminjaman jangka pendek ini ditempuh pemerintah pusat, karena sudah diatur dari BPJS pusat untuk mengatasi tunggakan klaim rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS.
Winastra menegaskan, pemerintah daerah menggunakan dasar rekomendasi yang dikeluarkan BPJS Klungkung, untuk mengajukan pinjaman tersebut. Menurutnya, SCF ini sudah menjadi bahan pertimbangan dari Kemenkes, khususnya bagi pihak rumah sakit yang ingin mengajukan pinjaman, karena belum adanya jaminan kepastian pembayaran klaim. “BPJS Kesehatan tidak dapat melakukan pinjaman ke lembaga lain, karena BPJS adalah lembaga pemerintah bersifat nirlaba dan tidak berorientasi profit. Secara UU tidak dibenarkan untuk meminjam dana dari lembaga lain,” tegas Sekda Winastra.
Ini sebagai upaya untuk menekan risiko bunga utang, sehingga BPJS Kesehatan menempuh skema ini, untuk mengatasi piutang bagi rumah sakit yang memberikan jasa kepada penerima layanan. Sebab, jika BPJS telat membayar kewajiban tersebut kepada rumah sakit terkait, akan didenda 1 persen.
Sedangkan dengan skema anjak piutang ini, bunganya lebih rendah dari denda tersebut. Hal itu ditempuh sebagai jalan keluar agar layanan kepada masyarakat tetap berjalan baik. (Bagiarta/balipost)