Sejumlah warga membaca buku di Rumah Baca Loloan. (BP/olo)

Budaya literasi terus didengungkan utamanya di dunia pendidikan. Ironisnya, di antara mencuatnya wacana ini justru belum semua memahami apa yang dimaksud dengan literasi itu sendiri.

Ada yang secara harfiah mengaitkannya dengan bacaan, yakni literatur yang memang sangat dekat dengan literasi. Tak salah memang, karena literasi juga menyangkut kemampuan membaca dan menulis.

Namun, dalam budaya literasi, yang dimaksud tidaklah sebatas kemampuan membaca, menulis dan menghitung (calistung). Budaya literasi lebih menekankan pada kemampuan memahami dan menelaah apa yang telah dibaca. Selanjutnya, mampu menganalisis dan mengambil kesimpulan berbagai informasi yang telah diperoleh dari berbagai perspektif.

Berbagai informasi kini tersebar tidak terbatas pada literatur-literatur yang ada di perpusatakaan-perpustakaan, buku bacaan di sekolah, media cetak konvensional dan sejenisnya. Kini, berbagai informasi dapat diakses dari dunia maya, dengan sediaan yang beraneka ragam dan dalam jumlah tak terhingga.

Baca juga:  HPN dan Memerangi "Hoax"

Hanya, informasi di dunia maya kadang hanya sepotong, juga tidak terstruktur rapi seperti halnya di diktat-diktat. Tentu memerlukan konsentrasi dan kemampuan lebih untuk membaca, memilah, memahami, menganalisis secara kritis sebelum menarik sebuah kesimpulan.

Saat ini, ada paradigma anak-anak Sekolah Menengah Pertama (SMP) bahkan Sekolah Dasar (SD) sederajat diarahkan melakukan literasi lewat internet. Sementara secara psikologis, anak-anak seusia mereka ini dominan masih senang bermain-main.

Kondisi ini jika tidak diimbangi penyediaan bahan literasi seperti tuntutan psikologis mereka, bisa jadi malah menimbulkan kebosanan dan kejenuhan. Ujungnya, gagalnya budaya literasi seperti diwacanakan dan didengung-dengungkan. Yang paling parah, bahan informasi yang diperoleh salah. Saat ini, tidak semua informasi terutama di dunia maya, bisa dipercaya dan dapat diyakini kebenarannya.

Baca juga:  Arah Baru Panggung Literasi di Bali

Sebelum terjerumus dan menjerumuskan anak pada literasi salah, sebaiknya para orangtua lebih dini mengawal anak-anaknya dengan tidak sembarangan memberikan membuka konten/informasi di gadget. Para orangtua harus selalu berusaha memberikan pendampigan dan arahan jika anak-anak ingin mencari informasi di dunia maya. Jangan semua tugas dan PR (pekerjaan rumah) anak jawabannya diserahkan untuk dicari di internet.

Kalangan pendidik, juga harus secara dini mengarahkan anak didiknya dengan memberikan rujukan yang jelas informasi yang harus dicari. Dengan memberikan rujukan yang jelas dan terarah, paling tidak sudah mengurangi peluang anak untuk membuka konten atau informasi yang tidak diperlukan.

Sementara pemerintah, selain tetap ketat melakukan kontrol terhadap konten di internet (meski itu sangatlah susah pada era maya ini), harus berpacu menyediakan berbagai bahan bacaan dan sediaan informasi yang diperlukan untuk membangkitkan budaya literasi ini. Tidaklah cukup mewacanakan membangkitkan budaya literasi, sementara pasokan yang diperlukan untuk literasi jumlahnya sangat terbatas.

Baca juga:  Reformasi Mental Korpri

Jika semua dapat disiapkan, maka gadget pun sangat bermanfaat untuk meningkatkan budaya literasi ini. Mangingat, konten dan informasi yang dapat diakses perangkat ini sangat tidak terbatas jumlah dan ragamnya.

Tinggal bagaimana para stakeholder memanfaatkan gadget ini menjadi perangkat penyedia bahan literasi yang tidak hanya bermanfaat bagi dunia pendidikan, masyarakat, tetapi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Jangan sampai, maksud hati meningkatkan budaya literasi malah jadi menjerumuskan anak ke lembah dunia maya yang penuh misteri.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *