Oleh Agung Kresna
Jangkep sudah kebijakan penguatan desa adat di Bali. Headline Bali Post, Jumat (19/9), menyiratkan tuntasnya kebijakan tentang desa adat di Bali melalui sejumlah perangkat hukum yang dikerjakan secara maraton oleh Gubernur Bali Wayan Koster dalam satu tahun masa pemerintahannya.
Diawali dengan Perda Provinssi Bali No. 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali, Peraturan Gubernur Bali No. 34 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Desa Adat di Bali, dan pembentukan Dinas Pemajuan Desa Adat melalui Perda Provinsi Bali No. 7 Tahun 2019. Hal ini didukung dengan persetujuan Menteri Dalam Negeri terhadap Perda Provinsi Bali No. 4 Tahun 2019 tersebut di atas.
Rencana pembangunan Kantor Majelis Desa Adat Provinsi dan Kabupaten/Kota se-Bali yang akan dimulai tahun 2020, semakin melengkapi penguatan kehadiran desa adat bagi segenap krama Bali. Harus diakui bahwa tatanan kehidupan keseharian krama Bali sejak lahir hingga meninggal dunia, secara adat, budaya, dan agama berada dalam tata kelola desa adat. Tidak bisa dimungkiri bahwa sanubari krama Bali adalah sejalan dengan eksistensi desa adat.
Segenap krama Bali harus menjaga adat, tradisi, dan warisan leluhur sebagai wujud upaya merawat peradaban Bali. Di tengah kemajuan teknologi informasi, pintu keterbukaan informasi global semakin lebar. Semua informasi, baik atau buruk akan dengan mudah masuk ke dalam kehidupan keseharian krama Bali. Diperlukan ketahanan digital dalam pribadi krama Bali agar peradaban Bali tidak terusik karena hal ini.
Mungkin generasi milenial krama Bali yang lahir pada era 90-an tidak percaya jika pada awal era tahun 70-an, untuk bersembahyang ke pura sebagian besar krama Bali baru mengenakan busana adat sesaat sebelum masuk area suci pura. Dalam perjalanan dari rumah, krama Bali hanya mengenakan pakaian sehari-hari lalu di depan pura baru memakai baju adat Bali. Sebagai etnis minoritas di Indonesia, krama Bali saat itu sangat malu menonjolkan diri, bahkan sekadar mengenakan busana adat Bali.
Harus kita akui bahwa kondisi tersebut secara berangsur berubah melalui kehadiran Pesta Kesenian Bali (PKB) sebagai pesta seni rakyat yang dihelat setahun sekali. PKB sebagai gagasan Gubernur Bali saat itu, Prof. Dr. Ida Bagus Mantra (alm), digelar pertama kali tahun 1978, dimaksudkan menjadi katalisator guna mengangkat citra rendah diri krama Bali dalam memanggul identitas Bali.
PKB terbukti mampu menggerakkan elemen kebudayaan, termasuk unsur religi dan industri yang seakan mendapat energi untuk terus berlangsung dan mewarnai karakter, identitas, dan pola perilaku krama Bali.
Peradaban Bali
Arus globalisasi yang serba-berubah dengan cepat harus disikapi secara bijak oleh krama Bali. Sebagai sebuah entitas kehidupan yang penuh aura adat budaya tradisi, Bali memiliki kekayaan cultural heritage yang elok dan memesona. Melestarikan kekayaan budaya ini adalah berarti menjaga peradaban manusia Bali itu sendiri yang telah berlangsung secara turun-temurun dalam wujud tradisi kehidupan keseharian krama Bali.
Peradaban Bali memang mengalami pasang-surut sesuai perubahan zaman. Adat Budaya Bali sebagai wujud sebuah peradaban, secara tangible culture tercermin dalam busana adat Bali. Sementara secara intangible culture muncul dalam bentuk bahasa Bali. Terbitnya Pergub Bali No. 79/2018 tentang Hari Penggunaan Busana Adat Bali dan Pergub No. 80/2018 tentang Perlindungan Penggunaan Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali, seakan menjadi tambahan baru bahan bakar kebudayaan bagi tungku adat budaya Bali.
Setidaknya, kehadiran sejumlah perangkat hukum terkait desa adat sebagaimana tersebut di atas, dapat mengingatkan kembali krama Bali akan jantung peradaban Bali. Desa adat di Bali yang diawali oleh para pengikut Maha Rsi Markandheya di abad ke-8 Masehi dan disempurnakan oleh Mpu Kuturan, memang saat ini telah menjadi identitas adat Bali. Secara de jure, desa adat di Bali sekarang telah berstatus sebagai subjek hukum dalam sistem pemerintahan Provinsi Bali.
Globalisasi dan percepatan teknologi informasi adalah sebuah keniscayaan. Paparan infiltrasi adat-budaya asing atas peradaban Bali akan terus terjadi. Namun, semua ini harus selalu kita jaga agar tetap berada dalam bingkai filosofi keseimbangan Tri Hita Karana sebagai mindset dan panduan hidup keseharian krama Bali. Ada beberapa catatan tentang hal ini.
Pertama, parahyangan. Filosofi ketuhanan krama Bali ini harus teguh dipegang menjadi aura dalam setiap gerak kehidupan keseharian krama Bali. Filosofi ini akan menciptakan sikap toleransi di lingkungan desa adat dalam menerima perbedaan yang akan selalu ditemui di keseharian kehidupan masyarakat warga desa adat ini.
Kedua, pawongan. Filosofi keseimbangan dalam interaksi kehidupan krama Bali ini harus menghasilkan sumber daya manusia unggul yang tanggap terhadap arus global yang serba-berubah dengan cepat, tanpa meninggalkan kearifan lokal sad kerthi sesuai tatanan desa adat. Semua harus tetap mengikuti swadharma (kewajiban) dan swadikara (hak) masing-masing sesuai kategori krama desa adat.
Ketiga, palemahan. Filosofi yang bernapaskan upaya menjaga keseimbangan alam sebagai tempat hunian dan aktivitas keseharian krama Bali ini, harus menciptakan tata ruang kehidupan masyarakat yang mengutamakan irama alam dalam mendesain suatu lingkungan buatan.
Kaidah-kaidah alam harus selalu menjadi panduan dan pegangan krama Bali dalam menciptakan tata ruang kehidupan desa adat, di tengah deraan arus global yang serba-diukur dengan hal-hal yang bersifat material.
Tidak boleh terjadi disorientasi adat-budaya Bali sebagai hakikat peradaban Bali. Marwah peradaban Bali harus bebas dari pencemaran adat budaya asing akibat terjadinya literasi visual yang semakin terbuka. Generasi masa kini krama Bali sebelumnya telah terpapar infiltrasi adat budaya asing sebagai dampak interaksi dengan wisatawan mancanegara melalui industri pariwisata. Kesalahan pemahaman akan jati diri dan integritas krama Bali harus dicegah.
Revolusi digital telah menimbulkan disrupsi teknologi sekaligus disrupsi budaya. Revolusi digital yang berlangsung demikian cepat pada era milenium kedua ini, bagaikan mencabut akar-akar teknologi dan budaya yang telah ada sebelumnya. Upaya menjaga peradaban Bali sekaligus melestarikan anatomi tradisi adat sosial budaya krama Bali harus dilakukan dalam tatanan dan mindset baru sesuai konteks masa kini.
Harus ada langkah komprehensif yang bersifat fundamental dalam merawat peradaban Bali di tengah deraan derasnya informasi pada era literasi visual. Marwah peradaban Bali harus didudukkan pada tempatnya melalui eksistensi desa adat, agar generasi krama Bali pada masa yang akan datang tetap dapat memahami jati diri Bali secara tepat. Merajut kembali berbagai stakeholder adat dan budaya Bali menjadi langkah yang harus dilakukan secara simultan.
Penulis, Arsitek, Senior Researcher pada Centre of Culture & Urban Studies (CoCUS) Bali, tinggal di Denpasar