Warga di rumahnya yang sudah termakan usia. (BP/dok)

DENPASAR, BALIPOST.com – Pendapatan per kapita penduduk Bali sebesar Rp 54 juta. Angka ini cukup tinggi yang berarti masyarakat Bali seharusnya cukup sejahtera. Namun, masih ada penduduk miskin di Bali yaitu 3,79 persen atau sekitar 159 ribu orang.

Menurut Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali Adi Nugroho, dalam membaca data, memang sering membingungkan dalam membandingkan indikator yang tersedia. “Di satu sisi kita membaca indikator perekonomian membaik bahkan sampai dengan PDRB per kapitanya. Di sisi lain kita juga membaca indikator penduduk miskin naik. Katanya perekonomian naik, tapi kok kemiskinan naik? Apa datanya yang salah?” tanyanya.

Baca juga:  Alat Peraga Kampanye Hasil Penertiban Dibuang ke TPA

Pertanyaan yang kerap muncul itulah, menurutnya, dibutuhkan kemampuan untuk menelaah data secara lebih tepat. Karena PDRB per kapita dihitung dengan mengukur produktivitas atau nilai tambah semua aktivitas ekonomi. “Diakumulasi semua nilai tambah aktivitas ekonomi, itu namanya PDRB,” bebernya.

Dalam hitungan berbagai aktivitas ekonomi itu pun dikatakan sudah terjadi ketidakmerataan. Yaitu yang menjalankan usaha pabrik, tentu nilai tambah yang disumbangkan lebih besar..

Angka PDRB yang merupakan akumulasi nilai tambah dari aktivitas ekonomi itu jika dibagi dengan jumlah penduduk namanya PDRB per kapita. Penduduk yang digunakan untuk membagi nilai PDRB adalah penduduk yang sehari–hari memiliki penghasilan maupun mereka yang belum berpenghasilan. Termasuk anak–anak.

Baca juga:  Masyarakat Bali Diajak Berdemokrasi dengan Riang Gembira

Sehingga diperoleh hasil hitungan angka pendapatan penduduk per kapita di Bali yaitu Rp 54 juta. Jika PDRB itu dibandingkan dengan garis kemiskinan pun, semestinya tidak ada orang miskin. “Sehingga angka ini tidak serta merta bisa langsung dibandingkan,” tandasnya.

Angka PDRB itu adalah angka perhitungan dari aktivitas atau kegiatan ekonomi. Sedangkan angka kemiskinan dibangun dari mengukur kemampuan memenuhi kebutuhan sehari-hari. “Jadi semua orang diukur kemampuannya memenuhi kebutuhan,” imbuhnya.

Baca juga:  Tak Pasang Tapping Box, Sejumlah Restoran di Badung Kena "Semprit"

Kue yang besar itu pun ada indikasi ke luar daerah Bali. Karena banyak hotel yang beroperasi di Bali, dimiliki oleh perusahaan yang berkedudukan di luar Bali seperti di Jakarta bahkan di Hongkong. “Sehingga nilai tambah yang diciptakan di hotel–hotel yang perusahaannya berkedudukan di luar Bali, nilai tambahnya tidak jatuh ke Bali, nilai tambahnya jatuh ke tempat perusahaan itu berdomisili. Karena pajaknya dibayar di wilayah kedudukan perusahaan itu,” jelasnya. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *