Mahasiswa di Surabaya melakukan demo untuk mendesak Presiden Jokowi menerbitkan Perpu menganulir UU KPK. (BP/kmb)

Oleh GPB Suka Arjawa

Unjuk rasa yang terjadi secara masif tanggal 23 dan 24 September 2019 yang lalu, cukup mengejutkan kita semua. Semangat mereka cukup tinggi dalam menyuarakan aspirasi terutama tentang ketidakpuasan terhadap revisi Undang-undang KPK, revisi KUHP, dan beberapa revisi undang-undang lainnya.

Tumben juga ditulis jika sehari setelah peristiwa itu, juga ada unjuk rasa yang dilakukan oleh para siswa. Meski dikatakan tuntutannya tidak jelas, tetapi mirip-mirip dengan apa yang diminta oleh pengunjuk rasa sebelumnya.

Namun, di balik maraknya unjuk rasa tersebut tetap ada persoalan-persoalan seperti isu bahwa sebagian unjuk rasa tersebut merupakan gerakan yang ditunggangi oleh pihak-pihak yang mempunyai kepentingan tertentu. Salah satunya adalah isu menggagalkan pelantikan presiden yang akan berlangsung pertengahan Oktober 2019 mendatang.

Di sinilah persoalan-persoalan yang kemudian mencederai unjuk rasa yang berlangsung. Unjuk rasa ini terjadi memang berdekatan dengan akan berlangsungnya pelantikan presiden.

Setidaknya, dalam tulisan ini, unjuk rasa dimaknai sebagai metode sosial atau metode politik untuk mengungkapkan keinginan atau perasaan. Dalam konteks politik, unjuk rasa ini sering diidentifikasi dengan demonstrasi, dan dalam realitas politik Indonesia mutakhir, sering kali berakhir dengan kerusuhan.

Akibatnya, masyarakat Indonesia sering mengidentifikasikan unjuk rasa itu dengan kerusuhan bahkan kekacauan. Padahal seharusnya tidak demikian. Unjuk rasa merupakan upaya terakhir bagi masyarakat untuk memperlihatkan ketidakpuasannya terhadap kebijakan tertentu, dengan cara-cara yang sesuai dengan etika sosial.

Ada kata rasa di dalamnya yang mengandung makna pemahaman atas rasa di luar diri kita, rasa masyarakat. Jadi, meskipun rasa diri kita kecewa, marah, tidak puas terhadap kebijakan tertentu, tapi dalam kondisi demikian harus juga mengetahui rasa masyarakat, yang ingin tetap tertib.

Karena itu, silakan keluarkan ketidakpuasan itu kepada umum tetapi harus bisa menjaga ketertiban umum, tidak mengganggu norma-norma sosial. Itulah unjuk rasa, sebuah tindakan yang seharusnya dilakukan secara tertib. Karena disebut sebagai upaya terakhir, maka seharusnya unjuk rasa tersebut benar-benar dipersiapkan dengan baik, rapi dan sebagainya sehingga mengenai sasaran.

Baca juga:  Tersangka Penyuap Mantan Basarnas Segera Disidangkan KPK

Harus juga dikaitkan dengan budaya dan situasi lingkungan. Dalam konteks Indonesia adalah budaya yang tidak memperlihatkan kekerasan. Karena orang Indonesia itu memenuhi kebutuhan hidupnya (bekerja) di luar rumah (kantor, kebun, buruh, dsb.), maka unjuk rasa tidak boleh mengganggu aktivitas yang disebutkan di atas. Tidak boleh mengaku-aku yang paling memperjuangkan diri.

Dengan situasi yang tertib, pesan yang disampaikan akan jelas. Orang akan menyimak segala ketidakpuasan itu, juga dengan jelas dan tenang sehingga menimbulkan suasana yang mendukung dan paham akan tuntutan yang dilakukan. Mengapa dikatakan sebagai jalan terakhir? Ini disebabkan pendekatan yang dilakukan sebelumnya mandek. Upaya dialog yang dilakukan kemungkinan menemui jalan buntu. Demikian juga imbauan yang disampaikan melalui media massa. Kemungkinan pendekatan personal juga gagal.

Apabila dilihat dari sisi fenomenanya, baik unjuk rasa maupun demonstrasi mempunyai sisi negatif yang cukup tinggi. Ini disebabkan karena unjuk rasa tersebut mengandung unsur kerumunan. Meski unjuk rasa itu dikoordinasikan, tetapi begitu sampai di lapangan, ribuan orang yang semula terkoordinir itu secara mudah akan menjadi kerumunan. Situasi lingkungan, mental, kondisi fisik, dan faktor lain seperti bertambahnya anggota, akan membuat ribuan orang itu sulit dikoordinasikan.

Udara panas, kurang asupan minuman dan makanan, mental yang belum siap dengan suasana atau berlipatnya anggota membuat situasinya berubah menjadi kerumunan. Dan, kerumunan akan mudah sekali berubah menuju hal-hal yang sifatnya destruktif. Kerumunan sangat sulit dikontrol.

Di sinilah sisi kritis dan krisis dari unjuk rasa tersebut. Jika unjuk rasa yang dianggap sebelumnya telah dikoordinasikan, maka ketika menjadi kerumunan, itulah yang sering membuat keterkejutan. Kerumunan itu mudah dimanfaatkan oknum-oknum tertentu untuk disusupi. Di samping sudah tidak terorganisasi, kerumunan juga sudah tidak terpola lagi. Relasi sosial sudah mulai kacau dan kawan atau kenalan sudah mulai merenggang.

Baca juga:  Lima Mantan Anggota DPRD Jambi Ditahan KPK

Bukan karena merenggang secara psikologis tetapi merenggang secara sosial. Kawan yang sebelumnya dapat bergandengan tangan, kini sudah hilang yang mungkin disebabkan oleh karena keadaan kacau sehingga dia terselip di barisan belakang.

Manusia mempunyai kelemahan juga dalam mengenali ciri-ciri seseorang. Dalam satu angkatan, mahasiswa misalnya tidak akan mungkin mengenal seluruh rekannya. Apalagi di dalam sebuah kerumunan. Dari situlah maka, memang harus hati-hati dalam mengelola atau menggelar unjuk rasa.

Pada masa lalu, unjuk rasa tersebut disebut dengan demonstrasi. Mungkin kata demonstrasi ini mempunyai konotasi kekerasan dan liar sehingga kemudian pemerintah mengubahnya menjadi unjuk rasa dengan harapan berlangsung tertib seperti yang dijelaskan di depan.

Unjuk rasa yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini, terutama saat usai pemilu serentak bulan April lalu, menakutkan masyarakat. Iklim demokrasi dan hak untuk mendapatkan informasi itu, membuat televisi menayangkan unjuk rasa itu ke seluruh Indonesia. Akibatnya, kekerasan dan rasa menakutkan itu menyebar ke seluruh wilayah nusantara. Harus diakui bahwa inilah sisi negatif dari kebebasan yang dituntut oleh demokrasi tersebut.

Dalam hal unjuk rasa yang menakutkan itu, dalam konteks pemahaman seperti yang diungkapkan di atas, kelihatan tidak memerhatikan rasa dari pihak yang ada di luar pengunjuk rasa. Dalam arti, perasaan masyarakat. Bagaimana mungkin masyarakat dapat menyerap tuntutan yang diinginkan kalau rasa yang menyelimuti dirinya adalah sebuah ketakutan.

Itu pasti menyebar ke seluruh nusantara jika disiarkan oleh televisi secara langsung. Pada lingkungan di mana unjuk rasa itu digelar, di samping rasa takut yang menyusup, juga gangguan mobilitas sosial. Masyarakat perlu dan harus bekerja untuk menjalankan kehidupannya.

Bagaimana mungkin mereka dapat menjalankan dinamika sosialnya jika aset utama untuk itu, yaitu jalan raya terganggu. Sehari saja terganggu, penghasilan satu keluarga bisa hilang, karier orang akan meredup dan anak-anak kemungkinan terlambat makan. Jangan main-main dengan akses untuk dinamika sosial ini. Apalagi kemudian ditambah dengan perasaan takut.

Baca juga:  Tantangan Pariwisata Bali pada Era Revolusi Industri 4.0

Pada unjuk rasa yang terjadi minggu keempat bulan September 2019 ini, banyak pimpinan perguruan tinggi tidak setuju mahasiswanya turun ke jalan. Tetapi bahwa mahasiswa tetap turun ke jalan, para pemimpin perguruan tinggi mengatakan bahwa itu bukan atas nama lembaga yang dipimpinnya.

Tetapi harus dilihat bahwa para pemimpin perguruan tinggi itu juga mempertimbangkan unsur dan asas demokrasi. Jika para pimpinan perguruan tinggi itu tidak menyetujui mahasiswa turun ke jalan, pasti ada alasannya, yaitu bahwa cara seperti itu sudah tidak efektif dilakukan sekarang. Cara itu dapat mengganggu stabilitas sosial dan mengganggu suasana dalam rangka untuk mengejar ketertinggalan negara dibanding dengan negara lain.

Dengan demikian, dialog dan tatap muka merupakan cara yang paling baik. Inilah cara yang intelek, sesuai dengan budaya Indonesia. Harus ada keterbukaan di sini dan melalui perwakilan. Pemerintah dan DPR harus mau berdialog. Mahasiswa juga demikian. Di sinilah kejantanan, kepintaran, kecerdasan, keterdidikan akan kelihatan.

Mahasiswa adalah insan intelektual muda yang harus menggali ranah keilmuan. Maka dalam dialog inilah kesaktiannya harus keluar. Mereka harus mengumpulkan rekan-rekan terbaik untuk menggali dan mengecek informasi, tidak sekadar membaca media, tidak percaya hoax apalagi  gugun tuwon.

Dia harus mencari bukti dan kemudian mencari teori yang ada, lalu menganalisisnya. Dengan itulah mereka akan menantang anggota DPR dan pemerintah yang sudah tentu mempersiapkan diri juga menghadapi mahasiswa. Siaran langsung televisi atas peristiwa ini, pasti menarik. Bagaimana dengan anak-anak SMA? Barangkali masih terlalu muda untuk terjun ke ranah ini.

Penulis, staf pengajar Sosiologi FISIP Universitas Udayana

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *