I Nyoman Adi Wiryatama menunjukkan surat yang memuat tuntutan massa aksi "Bali Tidak Diam" di Gedung DPRD Bali, Senin (30/9). (BP/rin)

Oleh I Gusti Agung Gede Artanegara

Keresahan organik para mahasiswa, pelajar, aktivis, maupun masyarakat yang merasa tidak setuju terkait RUU kontroversial, terkontraksi dalam demo di beberapa daerah. Menurut mereka, RUU KUHP dan RUU KPK bertolak belakang dengan semangat reformasi yang dibangun 21 tahun yang lalu.

Seperti yang kita ketahui bersama bahwa demonstrasi adalah hak warga Indonesia yang diperbolehkan oleh negara sepanjang mematuhi peraturan yang berlaku, pada dasarnya demonstrasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau lebih untuk mengeluarkan pikirin dengan lisan, tulisan, dan sebagainya di muka umum yang dijamin oleh Undang-undang Dasar 1945.

Arus informasi terkait demonstrasi ini kian menggelontor, aksesnya meluas. Seperti biasanya momen seperti ini banyak sekali berita bohong yang secara sengaja dibuat oleh produsen hoax. Dari data dokumentasi yang diterima oleh tim turnbackhoax telah terklarifikasi beberapa hoax terkait demonstrasi yang terjadi di beberapa daerah.

Baca juga:  Kompleksitas dan Eksistensi Perguruan Tinggi

Ada yang unik dari demonstrasi ala kaum milenial, kreativitas tulisan nyeleneh yang disampaikan menjadi humor politik dalam demonstrasi ini. Benar memang kreativitas merupakan salah satu kompetensi yang dibutuhkan oleh generasi bangsa pada abad ke-21, bagi yang melihat foto maupun video dan menyaksikan spanduk pendemo ini pasti bakalan tersenyum sendiri dan merasa tergelitik di hati. Dalam akun media sosial twitter, Kemendikbud menyoroti demo ini sebagai ajang penyampaian analisis sintaksis bahasa Indonesia.

sampai tulisan ini dibuat, ada empat sampel yang diambil sebagai contoh, yaitu: (1). Entah apa yang merasukimu hingga kau tega menghianatiku (ejaan benar: mengkhianatiku), (2). Negara sudah darurat sampai introvert rela ikut demo (ejaan benar: introver), (3). Saya disini cuma mau update instastory (ejaan benar: di sini), (4).

Jangan matikan keadilan!! matikan saja mantanku!! (ejaan benar: mantan ku). Dalam tulisan bernada sarkastis tersebut terdapat kegetiran dan keresahan pendemo, yang menurut Charlie Chaplin bahwa puncak tragedi adalah komedi. Beberapa pengamat komunikasi mengatakan tidak terlalu penting dengan kalimat tersebut karena yang penting pesannya dimengerti. Karena demo ini mayoritas dari kalangan milenial, maka mereka menggunakan bahasa yang mudah mereka mengerti.

Baca juga:  Mahasiswa Jangan Gengsi Mulai Wirausaha

Jika diperhatikan penggunaan bahasa Indonesia yang benar tidak lepas dari minat serta daya baca yang berdasarkan data dari Programme for International Student Assessment (PISA) 2015 jauh tertinggal dari negara tetangga maupun negara-negara OECD. Masih rendahnya budaya literasi, inovasi dan kreativitas, membaca surat kabar 13,1% sedangkan membaca berita elektronik 18,9 (sumber: Susenas MSBP 2015) dengan data survei tersebut, jelas daya baca masih kurang, butuh inovasi yang mampu menarik mereka untuk membaca salah satunya pemanfaatan momen demonstrasi ini sebagai ajang pembelajaran bagi masyarakat agar mengetahui bahasa Indonesia yang benar. Di sinilah butuh kreativitas dan kejelian dalam merespons momen dalam bermedia sosial, karena anak muda saat ini lebih tertarik dengan materi yang singkat dan menarik.

Baca juga:  Pembelajaran Bahasa Inggris di SD

Dari beberapa dokumentasi yang beredar, terdapat dokumentasi yang memperlihatkan pelajar sekolah melakukan aksi demo dengan gaya dan etika yang tidak memperlihatkan karakter bangsa. Sungguh miris melihat tindakan mereka, keberanian dan semangat yang luar biasa tetapi hancur dengan tindakan serta cara anarkis, apakah pola pendidikan yang salah, moralnya sudah berubah ataukah pemanfaatan teknologinya yang keliru.

Pengenalan kembali musyawarah sebagai upaya bersama dengan sikap rendah hati untuk memecahkan persoalan guna mengambil keputusan bersama dalam penyelesaian atau pemecahan masalah sepertinya perlu diterapkan kembali dalam mendidik.

Penulis, pemerhati Teknologi dan Budaya Kemendikbud

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *