DENPASAR, BALIPOST.com – Berubahnya sistem pembagian Pajak Hotel dan Restoran (PHR) dari sebelumnya lewat Pemprov Bali, menjadi langsung oleh Pemkab Badung dan Pemkot Denpasar kepada kabupaten penerima membawa konsekuensi tersendiri. Wakil Ketua DPRD Bali, I Nyoman Sugawa Korry di Denpasar, Selasa (1/10) menyikapi ribut-ribut masalah PHR antara Pemkab Bangli dan Pemkot Denpasar.
“Saya ingin mengingatkan kembali bahwa sejak awal kebijakan pembangunan dan pengembangan pariwisata di Bali adalah pembangunan pariwisata dilandasi budaya Bali,” ujarnya.
Artinya, lanjut Sugawa Korry, pembangunan pariwisata Bali harus didukung oleh seluruh lapisan masyarakat, termasuk pemerintah kabupaten/kota se-Bali. Selama ini, pariwisata berpusat di Bali Selatan khususnya Badung, Denpasar dan Gianyar.
Investasi dan pembangunan infrastruktur termasuk hotel dan restoran sebagian besar ada di tiga daerah tersebut. Sedangkan kabupaten lainnya diarahkan sebagai daerah penunjang pariwisata dengan basis sektor pertanian. “Melalui Undang-undang No.28 Tahun 2009, PHR dipungut dimana kedudukan hotel dan restoran tersebut berada, dan sudah tentu Badung, Denpasar, dan Gianyar memperoleh pungutan PHR yang sangat besar. Terutama Badung,” jelas Politisi Golkar ini.
Padahal menurut Sugawa Korry, wisatawan yang datang ke Bali bukan karena tertarik dengan ketiga kabupaten/kota tersebut. Melainkan tertarik dengan Bali secara keseluruhan yang didukung 6 kabupaten lainnya. Disinilah ketidakadilan itu muncul, karena yang berbuat seluruh Bali tapi yang menikmati mayoritas hanya Badung, Denpasar, dan Gianyar.
“Apa yang disuarakan Bupati Bangli adalah cetusan rasa ketidakadilan sebagai daerah yang punya andil besar ikut mendukung dan membangun pariwisata di Bali ini dan saya berkeyakinan hal yang sama dirasakan juga oleh Pemkab-Pemkab lainnya walaupun belum menyuarakan secara langsung,” terangnya.
Sugawa Korry menambahkan, kesepakatan terdahulu yakni PHR didistribusikan melalui Pemprov Bali secara proporsional untuk kabupaten lain sebetulnya bukan tanpa alasan. Sebab, Pemprov Bali dalam kapasitas sebagai “atasan” juga berwenang mengawasi penggunaan anggaran tersebut oleh Pemkab di seluruh Bali.
Oleh karena itu, pihaknya mengusulkan agar PHR kembali disalurkan melalui Pemprov agar rasa ketidakadilan tidak berkembang semakin luas. Seperti halnya yang dikeluhkan Pemkab Bangli yang sudah memasang dana bagi hasil PHR dalam APBD-nya, namun secara sepihak justru diubah.
Padahal program-program kegiatan sudah dalam proses tender dan kontrak sehingga sangat menyulitkan posisi anggaran di daerah tersebut. “Apabila dikembalikan melalui provinsi, Pemprov wajib mengkaji, mengawasi dengan profesional serta wajib memberikan kepastian ketersediaan anggaran tersebut,” tandasnya.
Sementara itu, Gubernur Bali Wayan Koster telah menegaskan bila pembagian PHR tidak perlu dikembalikan ke provinsi. Sebab, PHR merupakan hak kabupaten/kota sehingga tidak perlu ‘diganggu’.
Pembagian PHR merupakan kewenangan kabupaten/kota, dan secara regulasi juga tidak wajib menuntut Badung atau Denpasar untuk berkontribusi kepada kabupaten lain. “Tidak ada aturan yang menyuruh, mewajibkan kabupaten membagi pendapatan asli daerahnya ke kabupaten lain. Apalagi itu (mengembalikan pembagian PHR lewat provinsi, red), lebih tidak ada aturannya lagi,” ujarnya.
Namun demikian, Koster mengaku tetap akan menyikapi masalah ini. Salah satunya akan menghitung kemampuan anggaran Pemprov Bali untuk memberikan insentif bagi Bangli sebagai daerah konservasi.
Mengenai ancaman Bupati Bangli disebutnya sebagai ungkapan rasa kekecewaan saja. “Saya sempat bicara sama beliau kenapa marah-marah. Dia bilang, PHR dipotong tanpa pemberitahuan, besarnya Rp 2,9 miliar,” imbuhnya. (Rindra Devita/balipost)