Oleh Hendrizal, S.IP., M.Pd.
Sampai kini, korupsi menjadi sisi gelap bangsa Indonesia yang bagaikan laut tak bertepi. Sampai kini belum juga ada konsepsi mengantisipasi tren korupsi itu. Banyak sudah dilakukan upaya, tapi belum punya daya kuat membaja hingga bisa menanggulangi korupsi. KPK pun cenderung cuma berbuat tangkap-menangkap koruptor (OTT). UU tentang KPK pun bolak-balik mau direvisi.
Jika terus-menerus begitu, bangsa kita akan capek, karena kehabisan energi politik untuk mengatasi korupsi. Meski demikian, manusia tak boleh putus asa mengatasi masalah, termasuk korupsi. Sikap berputus asa juga dilarang agama. Di sini mungkin kita tak perlu mimpi berbuat yang hebat-hebat agar korupsi habis tuntas dalam waktu singkat. Sebab, memberantas korupsi memang membutuhkan waktu beberapa generasi. Itu pun kalau ada program yang dilakukan konsisten.
Menghentikan kebiasaan merokok saja tidak gampang, apalagi korupsi. Tapi, meski kita berbuat kecil-kecilan, ia bisa bagaikan kerikil yang dapat menggelincirkan perilaku korupsi. Sebagai perbandingan, gajah pun bisa mati oleh semut yang kecil. Namun untuk itu, mereka perlu searah dan kompak. Semua semut juga harus memiliki persepsi, visi dan misi yang sama membunuh gajah.
Maka, memberantas korupsi di Indonesia sebaiknya jangan dulu berharap yang muluk-muluk. Lakukanlah hal-hal kecil terlebih dulu, suatu saat akan ketemu langkah besar bagaikan semut mematikan gajah.
Salah satu langkah kecil tapi nantinya berdampak besar adalah menangani korupsi melalui sistem pendidikan. Bangunlah sistem pendidikan sebagai proses perlawanan korupsi. Apalagi mengingat korupsi telah membudaya dari level atas hingga bawah (merambat zona kultural) – ini juga akibat proses pendidikan yang karut-marut di Indonesia.
Sebagian besar koruptor di negeri ini juga diyakini saat duduk di bangku pendidikan termasuk peserta didik pandai. Bahkan, nilai pelajarannya terbilang tinggi di atas rata-rata kemampuan peserta didik lainnya. Kalau tak pandai, bagaimana mungkin mereka bisa meraih jabatan di eksekutif, legislatif, yudikatif dan lainnya! Namun, bagaimana mungkin peserta didik yang cerdas itu, begitu lulus sekolah menjadi koruptor? Apakah ada yang salah dalam sistem pendidikan di negeri ini?
Pertanyaan itu pernah terlontar dari mulut pakar pendidikan dan mantan rektor UNY, Prof. Suyanto, di hadapan peserta workshop ‘‘Koalisi Antarumat Beragama Antikorupsi’’, di Yogyakarta, beberapa waktu lalu. Itu untuk memancing jawaban atas pertanyaan bisakah memberantas korupsi dari sekolah? Pertanyaan itu kini juga lagi hangat didiskusikan di tengah masyarakat, terutama karena adanya usulan agar dimasukkan mata pelajaran khusus antikorupsi (dan kolusi, nepotisme/KKN) di pendidikan formal, yang diyakini akan memberantas praktik korupsi.
Ke depan penting dipikirkan bahwa jika membangun sistem pendidikan berbasis antikorupsi, kita akan dapat membangun kesadaran positif peserta didik atas korupsi, dan akhirnya diharapkan bisa memberikan pencerahan dan menanamkan nilai-nilai positif. Sistem pendidikan berbasis antikorupsi itu memiliki kerangka pikir berikut: makna korupsi, korupsi sebagai sistem, makna perilaku penyimpangan, bentuk-bentuk penyimpangan, teori-teori penyimpangan, jenis-jenis perilaku penyimpangan, proses korupsi, ruang lingkup korupsi, sifat-sifat korupsi, akibat korupsi, cara pengendalian, langkah penanganan, dan evaluasi.
Semua itu untuk menandaskan korupsi menurut UU No. 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari KKN yang telah dipilah-pilah sesuai perbuatan yang dilakukannya. Mengingat itu, dalam penyusunan pendidikan antikorupsi dalam buku pelajaran nantinya, perlu melibatkan beberapa pakar. Baik ahli dalam bidang pendidikan seperti ahli kurikulum, ahli substansi mata pelajaran, ahli pendidikan antikorupsi, ahli bahasa, maupun ahli lainnya semisal ahli hukum, ahli sosiologi, ahli psikologi, ahli agama, ahli etika dan moral. Ahli korupsi? Entahlah.
Pelaksanaan strategi belajar mengajar berdasarkan pendidikan berbasis antikorupsi itu mengacu pada penguasaan informasi dan pengetahuan yang relevan dengan tujuan pendidikan. Yaitu meningkatkan pengetahuan peserta didik yang meliputi ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik dalam mengembangkan antikorupsi yang sejalan pengembangan mata pelajaran yang relevan seperti agama, PPKn, sejarah, sosiologi, antropologi, bahasa Indonesia, bahasa daerah dan semacamnya.
Selain pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) dan kesenian, sebagai anggota masyarakat, dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya dan alam sekitarnya, juga dibutuhkan contoh keteladanan. Karenanya, agar pendidikan berbasis antikorupsi berjalan efektif, semestinya diciptakan keadaan menggembirakan, ungkapkan dengan benar, berpikir kreatif-konseptual, analisis dan reflektif, mengekspresikan dengan tegas. Ubahlah peserta didik menjadi ‘guru’, sehingga bisa mencapai tujuan dalam mengevaluasi hasil pembelajaran.
Ke depan, yang perlu dikembangkan dalam pendidikan berbasis antikorupsi itu meliputi tiga nilai atau kewajiban fundamental: (1) Nilai kejujuran, yaitu sikap orang yang berani menunjukkan siapa dia, serta mengatakan apa yang dimaksudnya. Kejujuran ialah keterikatan hati pada kebenaran. (2) Nilai keadilan. Adil artinya memberikan kepada siapa saja yang menjadi haknya dan memenuhi semua kewajiban yang mengikat kita. (3) Nilai tanggung jawab, yaitu keterkaitan berunsur pelaksanaan tugas dari yang berwenang dan menyelesaikan tugas serta bertanggung jawab.
Adapun pengembangan metode pendidikan berbasis antikorupsi yang efektif meliputi metode antikorupsi berikut:
Pertama, menerapkan ajaran agama yang benar dan fungsional serta membangun sinergi fungsi pikiran, hasil dan tindakan yang bisa dipakai menolak terjadinya korupsi dan memperkuat pribadi.
Kedua, pemahaman akan hak, menghargai atau menghormati hak orang lain, jangan mengganggu hak orang lain, puas dan mensyukuri hak diri sendiri, dan tidak merasa terganggu kalau haknya direbut orang. Pendidikan antikorupsi bisa dikondisikan dengan membiasakan peserta didik untuk meletakkan tanggung jawab pribadi terhadap hak-hak orang atau badan lain, misalnya lewat perpustakaan terbuka, toko swalayan. Intinya, usahakan tidak memberikan peluang seseorang berbuat menyimpang sehingga seseorang itu kehilangan keyakinannya.
Ketiga, membentuk pribadi yang kuat lewat kebiasaan menghadapi masalah dan tak menghindari masalah. Lewat cara ini bisa mendorong tumbuhnya Adversity Quotient (AQ) anak. Juga, perlu adanya ketegasan hukum yang bisa digunakan menekan seseorang dalam melakukan korupsi. Di sini perlu pembinaan pendidikan hukum praktis yang bisa digunakan sebagai strategi pendidikan antikorupsi, sehingga mereka paham mana aktivitas yang berada dalam jalur hukum dan melanggar hukum. Ini penting ditumbuhkan bersamaan pendidikan kebangsaan, pendidikan kepemimpinan, yang semuanya bisa bermakna menyiapkan manusia yang memiliki pribadi bersih, cerdas, beriman, bertakwa, dan berbudi luhur.
Jadi, dalam pendidikan berbasis antikorupsi penting adanya proses penyadaran yang menanamkan nilai-nilai moral dan agama, atau menumbuhkan sikap antipraktik korupsi. Selayaknya, dalam melawan korupsi lewat jalur pendidikan, kita membutuhkan ideologi pendidikan. Dengan begini, pembelajaran di sekolah diharapkan dapat menangkal perbuatan yang mengarah pada kejahatan korupsi dari sistem yang bobrok menjadi sistem sosial yang betul-betul manusiawi.
Selanjutnya, pendidik perlu memosisikan diri sebagai fasilitator informasi dan sarana yang diperlukan peserta didik untuk belajar efektif, berkomunikasi, bekerja sama, dan memecahkan masalah secara individual ataupun kelompok melalui emperis dan perkembangan rasional. Di sini, pendidik harus memandang peserta didik sebagai manusia yang mulia dan terhormat dan memberi pengalaman berpikir kompleks, rasional, berani dan jujur, serta bertanggung jawab secara individu maupun kelompok pada aktivitas belajar-mengajar.
Maka, idealnya, pendidikan berbasis antikorupsi dalam pembelajarannya perlu menggunakan metode integrated curriculum yang pelaksanaannya disusun komprehensif untuk membahas satu pokok problem tertentu. Pembahasan itu bisa dengan cara menggunakan topik yang ditentukan secara demokratis antara peserta didik dengan pendidik.
Dengan cara itu diharapkan pada hasil belajarnya, peserta didik bisa mendapatkan dan tertanam nilai-nilai moral dan religiusitas, baik menyangkut kejujuran, keadilan, kemanusiaan, kebenaran yang bisa dipakai dalam pencerahan kehidupan yang berkepribadian. Dengan beginilah, perilaku korupsi dapat dicegah pada generasi penerus bangsa. Pada merekalah sandaran harapan kita.
Penulis, dosen PGSD FKIP Universitas Bung Hatta Padang; kandidat Doktor UNP