IHSG
Ilustrasi. (BP/dok)

Oleh I Wayan Ramantha

Distribusi Pajak Hotel dan Restoran (PHR) Kota Denpasar dan Kabupaten Badung masih menjadi topik hangat di media massa seminggu belakangan ini. Tujuan substantif dari bantuan kepada enam kabupaten penerima pun menjadi kabur, manakala ego otonomi semakin menonjol. Dulu, otonomi sering diplesetkan menjadi otomoney.

Kini, pelesetan tersebut hampir menjadi kenyataan, karena dengan alasan bantuan uang yang konon terhenti sementara dari Denpasar dan berkurang dari Badung, ada kepala daerah yang dalam forum resmi sampai menebar ancaman.

Pada tahun 2016, ketika pembagian PHR masih dipayungi oleh Memorandum of Understanding (MoU) Gubernur Bali dengan Bupati/Wali Kota, distribusinya sempat menjadi masalah karena dengan berbagai pertimbangan, pihak pemberi ingin menyalurkan langsung bantuannya ke kabupaten lain.

Sejak itu, MoU diakhiri, sehingga tidak lagi ada payung hukum yang mendasarinya. Kondisi itu dipertegas oleh pernyataan Gubernur Bali Wayan Koster bahwa PHR merupakan kewenangan kabupaten/kota, tidak ada perintah undang-undang yang mengharuskan mereka membagi PHR-nya ke daerah lain (BP, 1 Oktober 2019).

Dasar pijakan ‘’budaya’’, sempat disampaikan oleh Wakil Gubernur Bali yang akrab disapa Cok Ace, bahwa ketika ada kabupaten/kota sedang berpesta, sangat wajar bila pihak yang berpesta ngejot ke kabupaten lain. Persoalannya kemudian adalah pada tahun anggaran 2019, kedua daerah pemberi bantuan tidak lagi sedang berpesta.

Mereka sedang pusing memikirkan capaian PHR yang sangat jauh dari target akibat faktor eksternal, yaitu menurunnya kontribusi sektor pariwisata terhadap pendapatan asli daerah (PAD). Di sisi lain, program-program belanja yang pro-rakyatnya sendiri, tidak mungkin bisa dibatalkan atau dikurangi.

Baca juga:  Mencari Benang Merah Data Pemilih

Pendekatan Dialogis

Usulan berbagai pihak, agar Gubernur Bali segera memfasilitasi seluruh bupati/wali kota untuk duduk bersama membahas persoalan ini, merupakan langkah bijak yang memang perlu segera dilaksanakan. Slogan manajemen satu pulau (one island management) yang telah lama dikumandangkan, kini saatnya diimplementasikan.

Membicarakan persoalan anggaran pemerintah, di samping harus dilandasi oleh berbagai peraturan, sebetulnya juga didasari oleh berbagai kebijakan. Oleh karena itu, kehadiran kepala daerah secara langsung dalam rapat koordinasi sangat diperlukan.

Budaya mewakili pada setiap ada rapat koordinasi antara provinsi dengan kabupaten/kota yang sudah lazim dilakukan sejak era otonomi, sudah saatnya diubah. Perlunya para pemimpin Bali untuk duduk bersama, bukan semata-mata membahas dum-duman PHR.

Tetapi lebih dari itu, mereka perlu membahas keterpaduan dan keberlanjutan pembangunan Bali dari segala aspek. Apakah itu aspek ekonomi, sosial, budaya, lingkungan, dan beberapa aspek penting lainnya.

Di lain sisi, para kepala daerah perlu menyadari, bahwa kini pemerintah daerah tidak lagi bisa sekadar mengandalkan bantuan pusat atau daerah lain dalam pembiayaan pembangunan wilayahnya. Berlakunya UU Otonomi Daerah No. 22 Tahun 1999 yang diperbarui dengan UU No.32 Tahun 2004, memberikan peluang besar kepada daerah untuk lebih mengoptimalkan potensi yang ada, baik menyangkut sumber daya manusia, dana, maupun sumber daya lain yang dimiliki daerah.

Baca juga:  Tunggakan PHR di Buleleng Capai Rp 5 Miliar

Kepala daerah memang dituntut untuk kreatif dalam berinovasi, termasuk untuk menggali sumber-sumber pendapatan asli daerahnya. Seluruh pemimpin Bali perlu duduk bersama membahas sektor-sektor selain pariwisata, untuk menjaga keberlangsungan ekonomi Bali. Dari pengalaman-pengalaman terdahulu, Bali seharusnya bisa belajar bahwa sektor pariwisata ada pasang-surutnya.

Dia sangat sensitif terhadap krisis ekonomi, bencana alam dan keamanan. Dia penuh persaingan, baik nasional maupun global. Program pariwisata nasional berupa pembangunan sepuluh Bali baru di luar Bali adalah kompetitor dalam bahasa marketing.

Perlu disadari bahwa pembagian PHR kepada enam kabupaten penerima selama ini, sesungguhnya merupakan reinvestasi bagi kabupaten pemberi. Kalau pemanfaatannya tepat guna untuk merawat budaya dan memperkuat sektor-sektor lain yang menunjang pariwisata Bali secara keseluruhan, dana itu akan kembali lagi dalam jumlah yang lebih besar ke kabupaten pemberi dalam bentuk PHR yang lebih besar.

Kabupaten penerima, perlu menyadari makna reinvestasi secara cerdas dan bijak. Bukan malah menggunakan dana itu untuk membeli mobil dinas mewah yang melebihi mobil dinas dari pemberi bantuan.

Sektor Ekonomi Lain

Sektor pertanian dalam arti luas termasuk perkebunan, kehutanan, dan perikanan,  pada satu tahun tertentu menyumbang hanya 4,74 persen (yoy) bagi pertumbuhan ekonomi Bali. Padahal, akomodasi dan makan minum yang merupakan kelompok sektor pariwisata, pada periode yang sama menyumbang 10,71 persen.

Artinya, ketimpangan kontribusi antara sektor yang terkait pariwisata dengan pertanian pada kondisi normal sangatlah tinggi. Ketidakseimbangan ini, dari dulu belum berhasil untuk mendorong kita ke arah peningkatan nilai tambah ekonomi bagi sektor pertanian.

Baca juga:  Optimis Menatap BUMDes Menuju 4.0

Belajar dari beberapa kali terpuruknya pariwisata akibat beberapa kejadian yang tidak terkontrol, seharusnya dapat memaksa Bali untuk terus berupaya memajukan sektor pertanian, sampai menghasilkan nilai tambah yang tinggi sebagaimana sektor pariwisata dan jasa lainnya pada kondisi yang normal.

Sinergitas antara sektor pariwisata dan pertanian, tidak cukup dibicarakan secara lantang pada saat seminar dan kampanye saja. Tapi secara kreatif dan sungguh-sungguh perlu upaya nyata di tingkat lapangan, sebagaimana yang telah lama dilakukan oleh Jepang dan Thailand.

Dalam program pemerintah daerah, sinkronisasi antar-Organisasi Perangkat Daerah (OPD), baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, perlu terus ditingkatkan. Ego sektoral yang kerap terjadi, tentu harus dientaskan dalam menghadapi persoalan klasik yang tidak berkesudahan, berupa ketimpangan antarsektor ekonomi yang sangat tajam hingga sekarang ini.

Produk-produk hasil pertanian Bali agar bernilai tambah yang lebih tinggi, perlu diolah menjadi bahan baku industri, untuk kemudian diperdagangkan, entah di dalam negeri guna menunjang pariwisata, atau ke luar negeri sebagai komoditas ekspor.

Dengan berbagai cara itu, seyogianya ekonomi Bali menjadi lebih baik dan lebih stabil. Kemandirian keuangan daerah di seluruh kabupaten/kota menjadi lebih kuat di era otonomi. Tidak ada lagi pemimpin yang sampai harus menebar ancaman demi uang.

Penulis, Guru Besar FEB Unud, warga Desa Batubulan, Gianyar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *