hibah
Ilustrasi. (BP/dok)

Masalah pembagian Pajak Hotel dan Restoran (PHR) kini menjadi isu hangat di Bali karena dibarengi dengan adanya ancaman serius dari Bangli. Masalah ini bermula ketika Kota Denpasar menghentikan kucuran bantuan PHR-nya kepada Bangli.

Sementara pemimpin di Bangli mengancam akan menutup semua sumber air yang bisa dinikmati oleh kabupaten/kota yang memerlukan SDA-nya. Jika terus begini, orang Bali mengatakan sekadi macerik-cerikan atau seperti anak kecil. Toh akhirnya, semua akan dirugikan.

Kita mengetahui bahwa kemampuan sebuah daerah tidak merata di Bali. Wajar kalau Badung dan Denpasar membagikan keuntungan PHR-nya ke daerah lain. Namun, ketika saat ini masa panceklik di sektor pariwisata, ada kemudian niat untuk tidak lagi memberi, itu sebenarnya adalah urusan rumah tangga sendiri.

Ibarat Bali bersaudara sembilan, ketika yang satu surplus dalam PHR, mereka memiliki hak untuk membagikan. Namun, ketika mengalami kekeringan PAD, juga tak bisa disalahkan jika menghentikan sementara bantuannya. Kata sementara perlu digarisbawahi, sebab yang namanya saudara sembilan, jika kita berlebihan, saatnya juga kita membantu.

Baca juga:  Dua Pasar Ini, Belum Mampu Hasilkan PAD untuk Karangasem

Konsep itulah yang seharusnya dikedepankan dalam urusan pembagian PHR. Satu sama lain saling memahami posisi. Yang jelas harus dijalankan sesuai dengan fakta. Artinya, kalau memang PAD di PHR menurun drastis ya fakta, jangan dipakai dana yang mestinya dibagikan ke kabupaten lain diperuntukkan bagi keperluan lain.

Kedua, sudah saatnya semua kabupaten/kota pada era otonomi daerah harus mandiri. Tidak lagi bermanja-manja menunggu bantuan tetangga, atau malas mencari terobosan penerimaan PAD baru.

Ketiga, bantuan yang diterima mestinya dipertanggungjawabkan untuk memperbaiki pelayanan dan fasilitas sektor pariwisata. Maka jangan salahkan PHR dipakai untuk pos yang lain. Toh dengan anggapan tahun depan akan dibantu lagi.

Baca juga:  Menyamakan Persepsi pada Bali Era Baru

Potensi-potensi yang ada di daerah sangat berpeluang dikembangkan pada era otda. Pengembangan pariwisata yang baik akan mengundang banyak investor yang berminat untuk mengembangkan usahanya di daerah yang banyak dikunjungi wisatawan.

Kini, begitu banyak daerah yang mempromosikan objek pariwisata di daerahnya bahkan hingga stasiun TV tidak pernah kehabisan bahan ulasan untuk sektor pariwisata saat ini. Di sinilah pentingnya otonomi daerah dalam pengembangan potensi daerah, terutama pada sektor pariwisata.

Kebijakan desentralisasi ini memberikan keleluasaan bagi daerah untuk mengoptimalkan potensi pariwisata yang terdapat di masing-masing daerah. Untuk sesuatu yang ada di daerah, dengan keberagaman sifat dan sikap yang dimiliki masyarakat Indonesia, daerah pasti lebih mengetahui sendiri apa yang mereka butuhkan untuk mengembangkan potensi yang dimiliki oleh masing-masing daerah. Tinggal bagaimana promosi yang akan diambil oleh pemerintah daerah untuk menjadikannya destinasi wisata.

Baca juga:  Tunggakan PHR di Buleleng Capai Rp 5 Miliar

Lahirnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang direvisi menjadi UU No. 32 Tahun 2004 dan mengalami perubahan kembali menjadi UU No. 25 Tahun 2014 memungkinkan banyak daerah untuk melakukan inovasi meningkatkan penerimaan PAD-nya.

Kasus ini mengingatkan kita pada ide Gubernur Bali Wayan Koster soal one islands management. Dengan konsep manajemen di tingkat provinsi, kita akan mendapatkan keadilan dan pemerataan. Tunjukkan otda untuk kesejahteraan rakyat, bukan untuk kepentingan pribadi atau golongan.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *