Alim Markus (kanan), saksi korban, bersaksi untuk terdakwa Ketut Sudikerta, Wayan Wakil dan Ngurah Agung dalam sidang di PN Denpasar, Kamis (10/10). (BP/asa)

DENPASAR, BALIPOST.com – Sempat tertunda karena bos Maspion tidak hadir dalam sidang pekan lalu, JPU I Ketut Sujaya dkk., akhirnya menghadirkan saksi korban dalam kasus dugaan penipuan dan penggelapan serta kasus TPPU di Pengadilan Negeri Denpasar, Kamis (10/10). Dia adalah bos Maspion Group, Alim Markus.

Saksi lainnya yakni Sugiarto, Eska Kanasut, I.A. Mas Sukerti, dan notaris Nyoman Sudjarni. Hanya, sang notaris batal memberikan kesaksian karena mengaku belum mengantongi izin dari Kemenkumham RI.

Di awal sidang, JPU dari Kejati Bali awalnya menanyakan soal ihwal perkenalan korban dengan terdakwa I Ketut Sudikerta, Wayan Wakil, dan Anak Agung Ngurah Agung. Di hadapan majelis hakim pimpinan Esthar Oktavi, Alim Markus menjelaskan, dirinya dikenalkan dengan Sudikerta oleh Henry Kaunang dan Wayan Santosa. Dia kenal Sudikerta tahun 2013, namun tempatnya lupa.

Baca juga:  Kejari Pastikan Ada Tersangka Dalam Kasus Tukad Mati

Setelah didesak dan meminta saksi mengingat-ingat, Alim Markus mengatakan di kantor Sudikerta. Saat itu pembicaraan mengarah kerja sama, karena Sudikerta mengaku punya tanah di Balangan. Saksi korban mengatakan tengah mencari tanah untuk investasi. Oleh Sudikerta, kata Alim Markus, diakui ada dua bidang tanah yang luasnya sekitar 41 hektar. Untuk memperdalam bisnis itu, saksi korban bertemu Sudikerta di Bali dan Surabaya. “Rencana saya bangun hotel, namun tidak jadi karena sertifikat ada dua,” ucap Alim Markus.

Saat didesak di mana sertifikat itu, saksi mengaku tidak tahu. Dia dijanjikan tanah, tetapi tidak jadi pula. Belakangan diketahui bahwa ternyata tanah yang ditawarkan bukan milik Sudikerta. “Walau ada SHGB, tidak bisa dibangun karena ada sertifikat lain,” tandas Alim Markus.

Baca juga:  Kasus Landak Jawa Jadi Sorotan Masyarakat, PN Denpasar Angkat Bicara

Atas keterangan itu, Sudikerta merasa tersudut. Apalagi Alim Markus dengan tegas mengatakan Sudikerta mengaku sebagai pemilik tanah sehingga ia percaya izin segera keluar karena terdakwa setelah menjabat Wakil Bupati Badung kemudian sebagai Wakil Gubernur Bali. Hanya, rencananya gagal karena sertifikat tanah yang dibelinya disebutkan ganda. Itu diketahui setelah saksi membayar Rp 149 miliar lebih ke PT Pecatu Bangun Gemilang, perusahaan yang dipimpin istri Sudikerta.

Uang sebagian dari saksi dan sisanya pinjaman dari Bank Panin. Akan tetapi Alim Markus mengaku tidak ingat berapa besar pengajuan kredit di Bank Panin dan jumlah uang yang dicairkan. Kesaksian Alim Markus ini ditanggapi terdakwa Wayan Wakil melalui penasihat hukumnya, Agus Sujoko. “Majelis mohon keluarkan penetapan pemanggilan Bank Panin untuk konfrontir,” pinta Agus Sujoko.

Baca juga:  Menunggu Kecerdasan Politisi Bangun Komunikasi Politik

Alim Markus juga dicecar seputar awal mula kerja sama dan hak kepemilikan tanah Wayan Wakil dan A.A. Ngurah Agung. “Ada tim yang menangani. Setahu saya, tanah itu milik Pak Sudikerta pribadi, bukan orang lain. Uang sudah dibayarkan dua kali ke PT Pecatu Bangun Gemilang,” ujarnya.

Terkait pelepasan hak tanah, lagi lagi saksi Alim Markus mengatakan ditangani timnya. “Saya bilang ke terdakwa Sudikerta kembalikan uang kalau gak jadi, tapi hanya dijanjikan,” jelasnya.

Kesaksian Alim Markus banyak ditolak oleh Sudikerta. “Saya jelaskan tanah ada yang milik Wayan Wakil dan Agung Ngurah,” terang Sudikerta sambil menegaskan tidak pernah menawarkan tanah kepada saksi. (Miasa/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *