Ilustrasi. (BP/dok)

Oleh Ni Komang Hevi Prima Dewi

Masih ingat serial film “Si Doel Anak Sekolahan”? Penonton televisi era 90-an tentunya ingat ya. Kisah yang menceritakan tentang perjuangan Babe Sabeni menyekolahkan anaknya yang bernama Si Doel ke perguruan tinggi. Harapannya, dengan menjadi seorang sarjana Doel memiliki profesi jauh lebih baik dari Sang Ayah yang hanya seorang sopir angkutan umum opelet.

Sang Ayah pun senang dan bangga luar biasa ketika putra semata wayangnya lulus kuliah. Namun ternyata, bekal ijazah perguruan tinggi yang Doel terima tidak bisa mengantarnya langsung bekerja. Dia harus menganggur terlebih dahulu walau sudah melamar pekerjaan ke banyak perusahaan.

Kendatipun kisah itu hanya cerita fiksi dalam sebuah serial layar kaca, di dalam dunia nyata masalah yang dihadapi Doel dialami banyak lulusan perguruan tinggi. Para fresh graduate galau karena harus “nganggur” setelah lulus kuliah.

Hasil survei dari Willis Towers Watson yang dilakukan sejak 2014 hingga 2016 menyebutkan delapan dari sepuluh perusahaan di Indonesia kesulitan mendapatkan lulusan perguruan tinggi dalam negeri siap pakai. Kok bisa? Padahal jumlah lulusan perguruan tinggi di Indonesia setiap tahunnya mencapai jutaan orang.

Data Statistik Pendidikan Tinggi yang dikeluarkan oleh Pusdatin Kemenristekdikti mencatat jumlah lulusan perguruan tinggi tahun 2018 sebanyak 1.113.375 orang. Ironisnya lagi, pertumbuhan jumlah perusahaan di Indonesia termasuk pesat dalam beberapa tahun terakhir.

Dalam satu dekade terakhir, ada 3,98 juta perusahaan baru muncul di Tanah Air. Artinya, setidaknya setiap tahun bermunculan 398.000 perusahaan rintisan. Kini total perusahaan di Indonesia mencapai 26,71 juta berdasarkan data Sensus Ekonomi yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2016. Indikasi telah terjadi miss match antara lulusan perguruan tinggi dan kebutuhan dunia kerja.

Baca juga:  Desember, Ada Seratusan Wisman ke Bali

Fenomena serupa juga terjadi di Bali. Badan Pusat Statistik mencatat bahwa beberapa tahun kebelakang, tepatnya sejak tahun 2013 Provinsi Bali selalu menempati urutan pertama dengan tingkat pengangguran terendah se-Indonesia. Posisi paling anyar di bulan Februari 2019, capaian Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Bali bertengger pada angka 1,19 persen. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar (98,81 persen) penduduk usia kerja di Bali terserap dalam dunia kerja.

Namun demikian, dibalik prestasi tersebut pemerintah masih harus tetap menyelesaikan “PR” besar terkait pengangguran. Pasalnya, meski tingkat pengangguran di Bali menurun dan bahkan nyaris tidak ada, nyatanya proporsi pengangguran dari penduduk berpendidikan tinggi semakin meningkat.

Dilansir dari data BPS, Persentase pengangguran dari jenjang pendidikan perguruan tinggi yang ditamatkan semakin meningkat. Februari 2018 persentase pengangguran dari lulusan Diploma sejumlah 0,90 persen, kemudian meningkat menjadi 2,86 persen pada Februari 2019, demikian juga lulusan sarjana meningkat dari 1,25 menjadi 1,58 persen pada Februari 2019. Di sisi lain, pengangguran yang berasal dari jenjang pendidikan SMP ke bawah hanya 0,56 persen (kondisi Februari 2019).

Hal ini menjadi sinyal bahwa pendidikan tinggi tidak menjamin langsung terserap dalam dunia kerja. Bahkan dari sekian tenaga kerja yang terserap, sebagian besar bekerja sebagai karyawan/pegawai/buruh. Pemerintah hanya berhasil menghasilkan buruh dibandingkan inovator sebagai pencipta lapangan kerja.

Sungguh ironis mengingat bahwa lulusan perguruan tinggi ternyata pencetak pengangguran terbanyak. Hal ini pula dibenarkan oleh Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dakiri, yang menjelaskan ihwal tingginya tingkat pengangguran lulusan perguruan tinggi. Menurutnya, ada faktor gengsi yang membuat para lulusan tersebut lebih memilih untuk menganggur. Hal ini berkebalikan dengan angkatan kerja yang statusnya hanya lulusan SD dan SMP yang tidak pilih-pilih pekerjaan. Bagaimana hal ini bisa terjadi?

Baca juga:  Akreditasi, antara “Branding” dan Layanan

Sebagian pakar mengambinghitamkan pemerintah terlalu mudah memberikan izin pendirian universitas swasta yang tidak menjaga mutu. Pendapat lainnya, Pakar pendidikan dan mantan Guru Besar Universitas Negeri Jakarta, Arief Rachman, mengatakan kualitas perguruan tinggi selama dua puluh tahun terakhir tidak kunjung membaik.

Desain kurikulum pendidikan berbagai jurusan selalu tertinggal dari kebutuhan riil industri dan bisnis, sehingga mengakibatkan miss match antara lulusan perguruan tinggi dengan kebutuhan dunia kerja. Namun ternyata, jika ditelisik lebih dalam yang menjadi masalah pokok adalah motivasi mahasiswa itu sendiri dalam berkuliah.

Banyak sekali mahasiswa yang kuliah bukan termotivasi untuk mencari ilmu dan pengalaman, tapi untuk mencari ijazah (orientasi pada hasil). Dengan orientasi pendek seperti itu, mereka akan mengabaikan proses yang berharga dan tidak mendapat pemahaman apa-apa terkait proses pendidikan yang sudah dilalui.

Selama kuliah tidak mau merasakan proses berdarah-darah, mental baja pantang menyerah pun tidak mereka miliki. Maka hasilnya pun bisa kita tebak bersama, ketika lulus dari universitas dan tidak ada perusahaan yang mau memperkerjakan mereka, mereka akan putus asa dan mulai mengeluh. Setelah itu, mereka akan mulai mencari-cari sesuatu atau seseorang untuk disalahkan.

Inilah sebab mendasar mengapa banyak sarjana nganggur, yaitu karena faktor motivasi intrinsik. Motivasi yang berorientasi pada hasil akan menghasilkan seseorang yang bermental tempe! Gagal langsung mengeluh dan menyalahkan orang lain. Berbeda dengan mahasiswa yang ketika kuliah mau berproses dan berdarah-darah. Mahasiswa yang mau berproses akan relatif lebih memiliki mental baja. Mengeluh dan menyerah tidak ada dalam kamus mereka. Hasilnya, meskipun kelak tidak ada perusahaan yang mau memperkerjakan, mereka tetap punya ilmu dan mental baja. Ilmu dan mental baja dapat menjadi modal paling dasar untuk menjadi seorang bos, Entrepreneur.

Baca juga:  Motor Brong Bikin Brangasan

Generasi milenial diakui memiliki kreativitas dan keragaman pengetahuan yang tidak dimiliki generasi sebelumnya. Kendati demikian, sarjana juga harus punya pengalaman yang mumpuni sebelum terjun ke dunia kerja. Jangan sampai “pride” yang tinggi karena merasa kuliah sudah tinggi bisa menuntut gaji yang terlalu tinggi, padahal pengalaman belum matang. Kuncinya adalah pengalaman kerja. Soal IPK dan akademik hanya hal kesekian dari sederet kompetensi yang diharapkan dari seorang lulusan perguruan tinggi di dunia kerja. Bahkan yang tidak kalah penting adalah keahlian dan kepribadian.

Penting bagi mahasiswa untuk mulai mencari pengalaman dengan cara magang, mulai mencari informasi dalam job fair, menjadi freelancer, meningkatkan hobi, atau bahkan kerja paruh waktu sesuai dengan bidang keilmuan. Menambah pertemanan atau relasi melalui berbagai kegiatan dalam organisasi positif dan aktif dalam komunitas akan memberikan kita banyak wawasan dan pengalaman. Dengan demikian, pengalaman dan skill lulusan perguruan tinggi yang siap kerja mulai terasah dan siap bersaing dalam dunia kerja, bahkan dengan pekerja asing sekalipun. Jika hal ini sudah berjalan maka tidak mustahil akan lahir SDM unggul dan tangguh. Melalui SDM yang unggul, tangguh dan berkualitas baik secara fisik dan mental akan berdampak positif tidak hanya terhadap peningkatan daya saing dan kemandirian bangsa, namun juga dalam mendukung pembangunan nasional.

Mempersiapkan diri sejak semester akhir sangat penting, jangan biarkan waktu terbuang sia-sia. Mulailah meluangkan waktu untuk memikirkan dan merencanakan apa yang akan dilakukan setelah lulus sarjana nanti. Karena menyandang label pengangguran bergelar sarjana adalah salah satu beban yang sangat berat. Lulusan Sarjana Menganggur? Jangan Mau!

Penulis, Bekerja di Badan Pusat Statistik Provinsi Bali

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *