Kini kalangan dewan dan eksekutif hangat membicarakan soal pajak kos-kosan. Dalam situasi krisis global, bidikan pajak baru ini justru akan memeras warga sendiri. Pasalnya, vila bodong yang jumlahnya ribuan di Bali belum terjamah.
Mungkin karena backing orang gede atau kesulitan yang dialami petugas pemungut pajak. Jika ini tuntas, barulah wajar kita beralih ke bisnis kos-kosan. Kemudian, bisnis kos-kosan yang mana harus dikenakan pajak, juga harus selektif.
Badung dan Denpasar yang banyak dihuni oleh kaum ekspatriat dan pendatang, wajar melirik pemasukan sumber pajak ini. Maraknya bisnis properti di Bali tidak terlepas dari usaha kos-kosan atau indekos yang selalu dinilai berpeluang dalam menghasilkan keuntungan.
Dari dulu hingga saat ini, bisnis kos-kosan terus-menerus meningkat khususnya di wilayah industri dan instansi pendidikan. Namun perlu diketahui bahwa usaha tersebut tidak luput dari ketentuan pajak atas bisnis kos-kosan.
Tapi nanti dulu, sebab saat ini usaha kos-kosan di Bali dibangun dengan berbagai inovasi yang sangat beragam, mulai dari kos yang sederhana, berstandar hingga kos eksklusif. Fasilitas yang disediakan juga sangat variatif. Penyewa hanya perlu menyesuaikan kebutuhan dan budget yang dimiliki. Cara pembayarannya juga variatif yakni per bulan dan per tahun.
Sudah diatur bahwa pasal 1 Undang-undang nomor 28 tahun 2009 mengatur tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah atau UU PDRD. Pada peraturan tersebut dijelaskan terkait pajak hotel, yaitu hotel yang dimaksudkan adalah berupa fasilitas penyedia jasa penginapan atau peristirahatan termasuk jasa serupa yang dipungut biaya.
Hotel dalam peraturan tersebut juga diartikan sebagai motel, losmen, rumah penginapan maupun rumah kos (kos-kosan) dengan jumlah ruang tidur atau kamar lebih dari sepuluh. Sehingga bisa dipahami bahwa usaha kos-kosan yang dikenai pajak adalah usaha kos dengan skala yang cukup besar yaitu memiliki jumlah kamar lebih dari sepuluh. Sementara untuk usaha kos dengan jumlah kamar kurang dari sepuluh, dikenakan kewajiban pajak berdasarkan pada PPh.
Nah, bagaimana mestinya pemerintah bersikap? Jika dalam situasi krisis begini dikenakan pajak kos-kosan, dipastikan banyak mendapat penolakan. Pertama, di sejumlah wilayah desa adat, banjar adat sudah memungut iuran bagi anak kos atau pendatang. Besarnya dari Rp 10.000-20.000 per bulan. Jika kini dikenakan lagi beban pajak kos, jelas mereka akan lari dan kerugian bagi pemilik kos.
Kedua, jika dikenakan kepada pemilik kos, pemerintah harus membuat standar yang tepat jenis kos yang bagaimana dikenakan pajak. Jika disamaratakan, jelas tak adil karena ada kos seharga Rp 400.000/bulan ada sampai Rp 2 juta/bulan. Pemilik kos jelas akan membebani pajak ini kepada penghuninya. Lagi-lagi akan menusuk warga sendiri. Atau bisa jadi mereka akan kos ke daerah yang tak mengenakan pajak kos agar lebih murah. Maka terjadilah penumpukan warga di sejumlah daerah.
Pemerintah perlu memikirkan intensifikasi pungutan pajak hotel dan restoran dana vila terlebih dahulu, bukan grasa-grusu membidik kos-kosan. Besaran pajak sesuai PP nomor 5 tahun 2002 adalah sebesar 10% dari jumlah bruto nilai persewaan tanah atau bangunan dan bersifat final. Di sini perlu dipikirkan mekanisme pemungutan dan juga pihak-piha yang berwenang.
Jika pun dilakukan siapa berani bertanggung jawab uangnya masuk ke mana, dan sangat jelimet untuk dipertanggungjawabkan. Misalnya kalau petugas sudah bilang tak ada orang kos, padahal ada siapa pun tak bisa mengecek sedetail-detailnya. Jadi, potensi korupsi juga sangat terbuka.