petani
Seorang petani di Subak Lagaan sedang merawat tanaman padinya yang baru tumbuh. (BP/dok)

Oleh M. Setyawan Santoso

Ketahanan pangan menjadi faktor penting dalam menjaga kestabilan nasional. Pengalaman krisis ekonomi tahun 1998, mengingatkan kita bahwa tingginya harga beras dapat memicu kerawanan sosial yang mengancam stabilitas nasional.

Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup dalam jumlah dan mutu untuk dapat hidup sehat, aktif dan produktif secara berkelanjutan. Ketahanan Pangan berbeda dengan kemandirian pangan, dimana kemandirian pangan adalah kemampuan suatu negara untuk memproduksi pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup.

Indikator ketahanan pangan berkaitan dengan tersedianya pasokan pangan serta terpenuhinya kebutuhan konsumsi baik secara kuantitas maupun mutu. Dilihat dari pasokan pangan, Provinsi Bali melalui Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Prov. Bali berupaya keras menjaga pasokan pangan hingga dapat memenuhi cadangan konsumsi untuk 3 hingga 8 bulan ke depan.

Indikator untuk mengukur pemenuhan kebutuhan adalah tingkat harga yang merupakan keseimbangan dari demand dan supply pangan. Demand mencerminkan permintaan konsumsi pangan sedangkan supply mencerminkan pasokan pangan. Jika pasokan berhasil memenuhi kebutuhan maka inflasi akan berada pada level yang rendah. Sebaliknya jika pasokan langka, maka inflasi akan berada pada level yang tinggi.

Di Bali cukupnya ketersediaan beberapa komoditi lain seperti daging, telur dan bawang merah bahkan telah menyebabkan terjadinya penurunan harga. Menurut data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik Provinsi Bali, terjadinya penurunan harga atau deflasi pada bulan September 2019, terutama disebabkan oleh menurunnya harga kelompok bahan makanan.

Sementara itu, pemenuhan kebutuhan beras yang merupakan komoditas bahan pokok paling utama adalah dalam kondisi aman terkendali. Menurut Dinas Perindag Prov. Bali, stok beras di Bali saat ini sebesar 269 ribu ton, cukup untuk memenuhi kebutuhan beras hingga tujuh bulan ke depan. Inflasi makanan (volatile food) pada September 2019 menunjukkan angka 1,12 persen (yoy) lebih rendah dibandingkan dengan inflasi total sebesar 2,54 persen (yoy).

Sebagai indikator ketahanan pangan, angka tersebut mencerminkan bahwa kondisi ketahanan pangan di Bali saat ini sangat baik. Meskipun demikian, ke depan kondisi perkembangan perekonomian Bali mengindikasikan munculnya tantangan yang harus diantisipasi sejak dini.

Baca juga:  Festival Kuliner Bali 2020, Gagasan Cerdas Perkuat Ketahanan Pangan Daerah

Tantangan menjaga ketahanan pangan dapat berasal dari dua sumber yaitu permitaan demand side serta pasokan supply side. Tantangan pertama berasal dari sisi permintaan disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut: (a). Kenaikan permintaan yang merupakan konsekuensi dari kenaikan jumlah penduduk. Jumlah penduduk Bali tahun 2019 sebanyak 4,36 juta jiwa. Menurut survei penduduk antar sensus (SUPAS) yang dilakukan oleh BPS Bali pada tahun 2020, penduduk Bali diperkirakan akan menjadi 4,41 juta jiwa sehingga terdapat tambahan permintaan sebanyak 50 ribu jiwa. Jika kenaikan tersebut tidak disertai dengan kenaikan produksi pangan yang seimbang, maka dipastikan akan terjadi gangguan ketahanan pangan. (b). Meningkatnya intensitas kegiatan yang memerlukan tambahan permintaan pangan secara masal, seperti konferensi, seminar, upacara atau perayaan hari-hari besar lainnya. Terlebih lagi saat ini Bali sedang gencar untuk menjadikan beberapa wilayah Nusa Dua dan sekitarnya untuk menjadi destinasi wisata meeting, incentive, convention and exhibition (MICE) yang dipastikan akan mendatangkan banyak orang. (c). Meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan khususnya untuk daerah wisata. Sebagai perbandingan, jumlah wisatawan yang berkunjung ke Yogyakarta pada tahun 2018 sebanyak dua juta orang, separuh dari jumlah penduduknya yang berjumlah 3,9 juta.  Sementara itu, untuk Bali jumlah wisatawan yang berkunjung pada tahun 2018 mencapai enam juta orang atau lebih banyak dibandingkan dengan penduduk Bali sendiri yang hanya berjumlah 4,36 juta orang.

Tantangan kedua berasal dari sisi produksi pangan. Tantangan yang muncul adalah (a). Menurunnya lahan pertanian. Menurut Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Prov. Bali, luas lahan pertanian padi di Bali pada tahun 2017 adalah seluas 78,6 ribu hektar. Dengan prakiraan penurunan lahan akibat alih fungsi sebesar 1,13 persen per tahun, maka dalam satu tahun terjadi penyusutan lahan seluas 880 hektar.

Sementara itu, penelitian Bank Dunia tahun 2017 menunjukkan bahwa di Indonesia secara rata-rata hanya 31,5 persen saja yang digunakan untuk pertanian, lebih rendah dibandingkan Thailand yang sebesar 43,3 persen dan Australia yang sebesar 52,9 persen. Jika angka yang sama juga berlaku di Bali, maka lahan sawah yang produktif amat terbatas.  (b). Menurunnya jumlah petani. Berdasarkan data Berita Resmi Statistik Provinsi Bali edisi Aril 2019, jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian berjumlah 22 pertanian.

Baca juga:  Digitalisasi Penyiaran dan Nasib Televisi Analog

Penelitian yang dilakukan oleh BPS Provinsi Bali menunjukkan bahwa mayoritas (39%) kepala keluarga petani berusia di atas 55 tahun, sedangkan 29 pertanian berusia 45–54 tahun, 23,10 persen berusia 35–44 tahun, 7,8 persen berusia  25–34 tahun dan hanya 0,55 persen saja yang berusia di bawah 25 tahun. Ini artinya suatu saat jumlah petani di Bali akan menyusut drastis. Salah satu penyebabnya menurunnya minat pemuda menjadi petani adalah tingkat kesejahteraan.

Panjangnya rantai distribusi mengakibatkan mahalnya harga pangan di tingkat konsumen tidak dapat dinikmati oleh petani. (c). Belum optimalnya penggunaan teknologi pertanian. Dengan postur usia petani yang hanya sekitar 30 persen yang berusia di bawah 45 tahun, disertai kondisi bahwa sebagian besar (55%) merupakan petani gurem yang memiliki lahan kurang dari 0,5Ha, maka penggunaan teknologi pertanian mengadapi tantangan yang tidak ringan.

Dengan kondisi yang penuh tantangan, pencapaian kinerja ketahanan pangan dilihat dari kenaikan harga kelompok bahan makanan (volatile food) yang relatif rendah merupakan kinerja dari Bank Indonesia, pemerintah dan seluruh unsur Tim Pengendalian Inflasi.

Kembali sesuai dengan tema perayaan hari pangan sedunia tahun ini, yaitu Meningkatkan Penggunaan Teknologi Industri Pertanian, upaya yang dilakukan pemerintah dalam menjaga pasokan pangan dilakukan melalui; (a). perlindungan lahan pertanian berkelanjutan (b). pembatasan alih fungsi lahan dan  (c). penerapan teknologi pertanian.

Dalam rangka menjaga luas lahan pertanian,  pemerintah mengeluarkan ketentuan mengenai alih fungsi lahan non pertanian ke pertanian melalui UU No. 41 th 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B). Ketentuan ini dikeluarkan untuk mengimbangi penurunan lahan pertanian yang mencapai 0,5 persen.

Pemerintah Provinsi Bali dengan cepat mengeluarkan petunjuk pelaksanaannya dalam Perda No. 16 tahun 2009 tentang RTRW Provinsi Bali. Namun upaya tersebut masih menghadapi tantangan dimana tidak semua pemilik lahan berkaitan dengan kecocokan antara aspirasi dan insentif yang diterima pemilik lahan.

Baca juga:  Bagaimana Nasib Pertanian Bali?

Upaya untuk membatasi alih fungsi lahan dilakukan dengan dikeluarkannya perpres 59 tahun 2019 yang ditandatangani tanggal 12 September 2019 tentang Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah. Perpres ini bertujuan untuk; (i). Mempercepat penetapan lahan sawah yang dilindungi, (ii). Mengendalikan alih fungsi lahan sawah yang semakin pesat, (iii). Memberdayakan petani agar tidak melakukan alih fungsi lahan sawah dan (iv). Menetapkan lahan pertanian pangan berkelanjutan. Ketentuan ini sekaligus mendukung UU No. 41 tahun 2009 yang selama ini belum optimal implementasinya.

Upaya penerapan teknologi pertanian dilakukan dinas pertanian pemerintah kabupaten berkolaborasi dengan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) dan lembaga lainnya. Di Bali, penerapan Upaya Khusus Padi Jagung dan Kedele (Upsus Pajale) serta Unit Pengelola Benih Sumber (UPBS) diterapkan di Jembrana, Badung dan Bangli.

Terdapat teknologi tanam di lahan kering, tanam di sawah tadah hujan yang disebut pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) dengan bibit varietas unggul. Ada pula teknik tumpang sari tanaman jagung dan kedele (Turiman Jale) dikabupaten Tabanan Bali. Untuk memanfaatkan pekarangan, diterapkan sistem Rumah Pangan Lestari. Banyak sekali teknik teknik pertanian yang telah diterapkan untuk meningkatkan produksi pangan.

Ke depan pemenuhan kebutuhan pangan untuk menjaga ketahanan pangan harus makin diwaspadai mengingat gejala penurunan produksi masih berlajut. Di sisi lain, permintaan pangan dipastikan akan meningkat baik yang berasal dari pertumbuhan penduduk maupun yang  bersumber dari arus wisatawan yang berkunjung ke Bali.

Pada tahun 2019, target kedatangan wisatawan yang berkunjung ke Bali mencapai 6,5 juta orang seiring dengan upaya pemerintah untuk menarik sebanyak-banyaknya wisatawan mancanegara ke Indonesia.  Dengan demikian, indikator ketahanan pangan dilihat dari inflasi makanan (volatile food) harus terus digunakan untuk memantau kinerja ketahanan pangan di Bali.

Penulis, Pengamat Ekonomi, bekerja di Bank Indonesia

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *