Oleh Fauzan Hidayat, S.STP.
Ketika Anda memutuskan untuk memilih jasa layanan transportasi online di suatu hari (sebut saja Go-Jek) maka orderan Anda adalah satu dari tiga juta orderan yang dilakukan orang lain di hari yang sama. Begitupun saat Anda ikut ambil bagian menjadi pengemudi (driver) Go-Jek maka Anda adalah salah satu dari dua juta pengemudi lain yang saat ini aktif di Go-Jek.
Ya, dikutip dari CNBC Indonesia (5/4/2019), Go-Jek telah memiliki 2 juta pengemudi dan tiga juta orderan setiap harinya. Sebagaimana umumnya diketahui bahwa bisnis start-up ini dominan bergerak di bidang jasa transportasi dan food-delivery di samping fitur-fitur lain yang notabene merupakan kebutuhan dasar masyarakat Indonesia.
Transportasi dalam jaringan (daring) ini hadir di tengah-tengah kompleksitas problematika transportasi di Indonesia yang hingga saat ini belum ada kebijakan yang tepat dan mampu menjawab berbagai persoalan dasar seperti kualitas transportasi publik, keamanan dan kenyamanan penumpang, kemacetan lalu lintas dan lainnya. Kemajuan teknologi dan pergerakannya ke arah yang lebih canggih dan modern merupakan suatu keniscayaan yang menuntut kita sebagai masyarakat pengguna untuk bersikap adaptif menghadapinya karena perkembangan teknologi tersebut telah merambat hingga berbagai lini kehidupan.
Terlebih tuntutan kepada pemerintah selaku pengambil kebijakan. Thomas Dye (2006) dalam bukunya ‘’Understanding Public Policy’’ Edisi 14 menegaskan bahwa kebijakan diambil atas munculnya permasalahan yang menyentuh urusan masyarakat (public) secara luas. Kehadiran transportasi daring di tahun kelima eksistensinya ternyata menuai berbagai permasalahan publik yang mesti diselesaikan oleh pemerintah, di antaranya adalah: statusnya yang tidak diakui secara undang-undang sebagai transportasi publik dan kehadirannya menjadi bagian terbesar penyebab kemacetan lalu lintas.
Gagap Kebijakan
Mungkin frasa tersebut cukup tepat disematkan kepada sikap pemerintah dalam membijaksanai perkembangan transportasi online konvensional. Kita dapat membuktikannya dengan melihat inkonsistensi kebijakan yang ditujukan untuk mengatasi problema Go-Jek ini. Sejak munculnya Go-Jek di tahun 2010 dengan hanya 20 pesepeda motor, tidak ada satu pun yang peduli dan menyangka bahwa ini akan menjadi bisnis raksasa yang akan memberikan dampak yang sangat luas bagi Indonesia.
Lima tahun berselang, pada bulan Desember 2015 Go-Jek sudah berbasis aplikasi dan mulai menampakkan eksistensinya dan secara tidak langsung menuai protes keras hingga demonstrasi dari para pengemudi transportasi konvensional karena mengancam mata pencahariannya yang mulai beralih ke Go-Jek, Grab dan Uber.
Di tahun yang sama, Kementerian Perhubungan melalui Keputusan Menteri Nomor UM./302/1/21/Phb/2015 tiba-tiba menyatakan bahwa transportasi apa pun yang berbasis aplikasi adalah ‘’ilegal’’ dan tidak diizinkan untuk beroperasi di jalanan karena dianggap bertentangan dengan ketentuan lalu lintas dan angkutan jalan. Selanjutnya pada september 2016, sebagai reaksi dari protes keras taksi konvensional dan kebijakan ‘’mendadak’’ terkait legalitas tersebut maka para konsumen transportasi daring juga mulai melakukan demonstrasi yang marak di berbagai kota seperti Balikpapan, Surabaya, Manado dan lainnya.
Setahun kemudian, masyarakat semakin dibuat kebingungan dengan adanya putusan Mahkamah Agung (MA) yang menyatakan bahwa peraturan Kemenhub harus direvisi. Peraturan tersebut menjadi semakin tidak berlaku ketika Presiden Republik Indonesia menghadiri peluncuran invetasi Go-Jek di Vietnam pada Agustus 2018 sebagai wujud apresiasi pemerintah terhadap eksistensi start-up ini di luar negeri, terlebih di Indonesia.
Di sini, inkonsistensi kebijakan pemerintah dalam menyikapi dilema transportasi daring ini mulai terlihat. Kebijakan yang seakan ‘’gagap’’ ini mulai memperlihatkan bahwa pemerintah tidak siap menyikapi kemajuan dan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi di bidang transportasi ini. Kebijakan yang responsif yang berbasis evidence terhadap perkembangan teknologi belum dapat terwujud dengan baik.
Bogenscheider & Corbett (2010) dalam bukunya ‘’Evidence-Base Policy Making: Insights from Policy-Minded Researchers and Research-Minded Policymakers’’ membagi multikriteria kebijakan menjadi 5 macam: Technical, Economic, Legal, Social dan Substansive. Dari kelima jenis kriteria kebijakan tersebut dalam hal kebijakan terhadap kehadiran transportasi daring di Indonesia dapat terbagi menjadi dua, yaitu Positif (Technical dan Economic) serta Negatif (Legal, Social dan Substansive).
Dari aspek Technical, adalah mustahil jika kebijakan yang akan disusun bersifat menafikan perkembangan transportasi daring ini tanpa menyediakan alternatif yang benar-benar representatif. Karena eksistensi layanan ini dibutuhkan masyarakat dan mereka sudah tergantung dalam pemanfaatannya untuk memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari.
Di samping laju pertumbuhan jumlah pengemudi yang semakin tinggi, masyarakat pengguna smartphone dan akses terhadap transportasi daring semakin meningkat cepat. Maka, mau tidak mau pemerintah untuk sementara mesti legowo menerima kehadirannya sampai alternatif representatif yang disediakan dapat menyaingi bahkan menggantikan posisi transportasi daring yang sudah telanjur menyebar ini.
Dari sisi Economic, baru-baru ini hasil riset Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LD FEB UI) menyatakan bahwa kontribusi Go-Jek dalam pertumbuhan perekonomian Indonesia pada tahun 2018 mencapai Rp 44,2 triliun. Di satu sisi, angka ini cukup fantastis dan menggiurkan bagi laju pertumbuhan perekonomian negara. Akan tetapi di sisi lain, kenyataan ini akan lebih mempersulit pemerintah untuk membijaksanai eksternalitas negatif yang ditimbulkan oleh perusahaan Go-Jek.
Dari aspek Legal, kejelasan hubungan industrial yang masih kabur dalam perusahaan Go-Jek menjadi sisi negatif tersendiri dalam perkembangan perusahaan ini. Padahal hubungan industrial merupakan hal sangat krusial di mana di dalamnya mencakup hak dan tanggung jawab masing-masing subjek baik pihak driver maupun perusahaan. Dampak buruk akibat belum adanya payung hukum terhadap hubungan industrial dalam perusahaan sturt-up seperti Go-Jek ini dapat menyentuh kerentanan dan kerawasanan eksploitasi pekerja. Maka dibutuhkan kebijakan yang bersifat komprehensif dan antisipatif terhadap perkembangan teknologi.
Dari aspek Social secara nyata dapat kita lihat bahwa dalam layanan publik konsumen tentunya cenderung kepada aplikasi yang paling mudah digunakan sehingga Go-Jek dengan segala kemudahan dalam pemanfaatan fitur-fiturnya menjadi pilihan utama masyarakat. Tidak dapat dimungkiri juga bahwa kehadiran layanan berbasis aplikasi ini secara tidak langsung telah menghilangkan pekerjaan kelompok tertentu sebut saja taksi dan ojek konvensional. Oleh sebab itu, pemerintah mesti mengakomodir dampak sosial ini dan memastikan bahwa segala bentuk bisnis yang beroperasi di Indonesia harus bersifat inklusif.
Kriteria substansive dari perkembangan transportasi daring ini semakin menunjukkan bahwa meskipun kuantitas driver dan user semakin bertambah pesat maka semakin menggambarkan ketidakberdayaannya dalam memecahkan masalah kemacetan lalu lintas di kota-kota besar. Kenyataan bahwa perusahaan start-up seperti halnya Go-Jek dan Grab telah memonopoli pasar transportasi sesuatu yang tidak dapat dimungkiri. Maka kebijakan yang ada semestinya mampu menciptakan keadilan bagi banyak moda transportasi serta mengikis habis segala bentuk potensi monopoli.
Sebagai warga negara yang baik, kita tetap mengapresiasi upaya demi upaya pemerintah dalam membijaksanai berbagai permasalahan transportasi online seperti halnya Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 12 Tahun 2019 tentang Perlindungan Keselamatan Pengguna Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat yang terbit pada tanggal 11 Maret 2019 lalu dan mengatur berbagai ketentuan yang harus dipatuhi oleh pengguna sepeda motor. Regulasi ini hadir sebagai wujud perhatian pemerintah terhadap perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) walupun dalam skala sempit karena baru bersifat jangka pendek dan mengatur keselamatan, kemitraan, suspensi dan biaya jasa.
Kita masih membutuhkan kebijakan jangka panjang yang lebih responsif terhadap perkembangan TIK di masa depan. Kebijakan yang berlandaskan evidence dan menjawab kompleksitas persoalan dan problematika transportasi online karena memang Go-Jek, Grab dan aplikasi transportasi daring bukanlah jawaban terhadap permaslahaan transportasi di masa depan.
Penulis, mahasiswa Pascasarjana Universitas Gajah Mada, Kepala Sub-Agraria Bagian Pemerintahan dan Otda Setdakab Aceh Singkil