Wisatawan mancanegara berjemur di Pantai Kuta. (BP/dok)

Oleh Agung Kresna

Kekhawatiran terjadinya akuisisi kawasan pesisir pantai oleh pihak pemilik properti di wilayah pantai kembali menyeruak, ketika sebuah iklan beach resort mewah di Tabanan menawarkan pantai pribadi bagi para calon pembelinya (Bali Post, 11/10). Hal ini seakan menggenapi peristiwa di Buleleng beberapa waktu yang lalu, saat seorang warga asing penghuni sebuah vila pantai mengusir krama Bali yang melintasi pantai di depan vilanya.

Sementara kawasan pantai bagi krama Bali sering menjadi area melasti maupun tempat bersandarnya para nelayan tradisional warga setempat. Pulau Bali sebagai kawasan tujuan wisata memang dikenal dengan akomodasi penginapan di kawasan pesisir pantai yang menawarkan keindahan dan eksotisme pantainya.

Acap kali terjadi pengusiran oleh pihak security hotel terhadap orang yang melintas pantai di depan hotel. Pihak hotel sering kali melarang orang yang bukan tamu hotel, ikut menikmati pantai yang bersinggungan dengan halaman hotel.

Memang terasa janggal jika masyarakat umum yang tidak menjadi tamu hotel, dilarang melintas/menikmati pantai yang ada di halaman hotel. Ini bagaikan melarang masyarakat umum melewati trotoar di depan sebuah hotel yang terletak di tepi jalan raya. Laut adalah bagai jalan besar yang terletak di depan bangunan.

Sementara kawasan pesisir pantai adalah trotoarnya. Kawasan pesisir pantai memiliki nilai ekologi dan social. Karena itulah, ada peraturan bernama garis sempadan pantai, sebagaimana sempadan jalan maupun sempadan sungai. Garis sempadan ini merupakan garis batas area yang memang tidak diizinkan untuk digunakan sebagai area terbangun. Area sempadan merupakan kawasan publik. Garis sempadan ini memiliki jarak berbeda-beda tergantung dari derajat bahaya hempasan air laut di masing-masing kawasan.

Baca juga:  Pantai Jasri Jadi Lokasi Banyupinaruh Warga Karangasem

Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 51 tahun 2016 tentang Batas Sempadan Pantai sebagai penjabaran UU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (sebagaimana telah diubah dengan UU No. 1 tahun 2014), mengatur bahwa sempadan pantai minimal adalah 100 (seratus) meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat. Sempadan pantai diartikan sebagai daratan sepanjang tepian pantai, yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai,

Garis sempadan merupakan garis batas luar pengaman yang ditetapkan dalam mendirikan bangunan/pagar. Pada prinsipnya, garis sempadan adalah garis batas antara kawasan publik dengan kawasan privat. Sehingga area sempadan merupakan kawasan publik yang sekaligus berfungsi sebagai area penyangga ekologis bagi wilayah laut, danau dan sungai serta area jalan raya.

Privatisasi Pantai

Realitasnya sering sekali kawasan pantai telah dikooptasi oleh para pemilik tanah di kawasan pesisir pantai, hingga berubah fungsi menjadi area privat. Kawasan pesisir pantai Bali pun tidak luput dari kondisi tersebut. Banyak pengelola akomodasi pariwisata di kawasan pesisir pantai Bali (hotel, restoran, watersport, dll) yang telah menjadikan pesisir pantai di area akomodasi mereka menjadi area privat.

Akibatnya, banyak kawasan pantai yang tidak lagi bisa diakses masyarakat umum sebagai area publik sebagaimana diamanatkan undang-undang. Padahal, keberadaan batas sempadan pantai ini selain dimaksudkan untuk melindungi dan menjaga kelestarian fungsi ekosistem dan segenap sumber daya di wilayah pesisir, juga untuk menjaga masyarakat pesisir dari ancaman bencana alam (gempa, tsunami, erosi, dan abrasi).

Baca juga:  Taksu Ekonomi

Pada prinsipnya, area sempadan pantai selain merupakan alokasi ruang untuk akses publik melewati pantai; juga menjadi area titik kritis dalam upaya menjaga keseimbangan kawasan alam dengan kawasan lingkungan buatan sebagai area terbangun. Tantangan terjadinya privatisasi pantai di pesisir Bali ini dapat diantisipasi melalui beberapa tindakan berikut.

Pertama, sosialisasi keberadaan sempadan pantai. Harus dilakukan upaya terus-menerus kepada publik -utamanya para pemangku kepentingan-, untuk memberikan pemahaman yang benar tentang pentingnya keberadaan sempadan pantai. Semakin banyak pihak yang memahami nilai penting dan fungsi sempadan pantai, akan meminimalkan terjadinya privatisasi pantai atau penyalahgunaan fungsi pantai secara tidak benar.

Kedua, sosialisasi perizinan bangunan/lingkungan buatan pada kawasan pantai. Acap kali terjadi, para investor akomodasi pariwisata selaku pemilik bangunan maupun arsitek selaku perencana lingkungan buatan, tidak tahu (atau kadang pura-pura tidak tahu) akan keberadaan aturan tentang sempadan pantai. Sehingga keberadaan peraturan perundangan yang mengatur sempadan pantai harus dipahami dan diterapkan oleh semua pihak yang terkait.

Ketiga, pemahaman tentang keamanan dan keselamatan bangunan. Upaya menciptakan lingkungan buatan/bangunan yang aman secara konstruksi dan melindungi keselamatan penghuninya, menuntut para pemberi izin pendirian bangunan untuk benar-benar memerhatikan peraturan perundangan yang ada atas lingkungan buatan yang dimungkinkan untuk didirikan pada suatu kawasan pantai.

Baca juga:  Ekonomi Kebudayaan Bali

Sehingga hanya bangunan/lingkungan buatan yang benar-benar laik fungsi yang akan diberikan izin untuk berdiri dan beroperasi pada suatu kawasan pantai tertentu. Hal ini melihat kenyataan bahwa investor sering kali menitikberatkan pada faktor keuntungan finansial semata, sehingga kadang terjadi pemaksaan pembangunan tanpa mengindahkan peraturan bangunan dan lingkungan yang ada.

Derasnya arus industri pariwisata yang menawarkan gelimang dolar di seantero Bali, sedikit banyak ikut memengaruhi sikap krama Bali dalam menyikapi lingkungan kehidupan kesehariannya. Padatnya arus modal dalam akomodasi pariwisata juga membawa sikap eksplorasi –yang kadang berubah menjadi eksploitasi- terhadap alam lingkungan Bali, sebagai upaya menarik sebanyak mungkin wisatawan; dengan maksud agar investasi yang sudah mereka tanamkan dapat cepat segera kembali.

Tantangan terhadap terjadinya privatisasi kawasan pantai Bali menjadi tanggung jawab bersama segenap pemangku kepentingan di Bali. Tidak cukup hanya kalangan pelaku pariwisata yang harus peduli atas hal ini. Privatisasi pantai tidak saja membawa akibat buruk bagi lingkungan sosial krama Bali, namun dampak buruk juga dapat menimpa lingkungan alam Bali. Filosofi keseimbangan Tri Hita Karana harus direalisasikan secara nyata dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya keseharian krama Bali. Bukan sekadar menjadi komitmen lisan krama Bali.

Penulis, arsitek, Senior Researcher pada Centre of Culture & Urban Studies (CoCUS) Bali, tinggal di Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *