Sebagai warga Kota Denpasar dan Bali kita patut berbangga memiliki Kota Denpasar sebagai kofa kreatif, inovatif dan sejahtera. Tingkat kepuasan hidup warganya juga termasuk kota terbaik di tingkat nasional.
Namun itu baru koma, jelas bukan hasil yang sebenarnya. Artinya indikator pengukurannya baru pada tiggkat kepuasan, pernyataan verbal, padahal yabg benar kita harus bicara riil apakah warganya benar-benar sejahtera, kreatif atau inovatif.
Penilaian sebagai kota kreatif dan inovatif baru pada tataran kreativitas kebijakan pemerintahannya, yang benar dan patut diuji lagi apakah benar warganya kreatif dan inovatif. Dua hal ini menjadi fokus pembangunan Denpasar dan kota lain di Bali.
Maklum dari segi sarana dan prasarana serta infrasruktur, jelas ibu kota Provinsi Bali ini diuntungkan. Baik dari segi kelengkapan sarana pendidikan mulai dari PAUD dan TK hingga perguruan tinggi di Bali semua berpusat di Denpasar, termasuk program S-2 hingga S-3 ada di Denpasar. Sarana kesehatan apalagi, semua dimiliki Denpasar.
Warga jelas menikmati kemudahan fasilitas itu pun tidak hanya warga Denpasar namun juga warga pendatang. Jadi, wajar saja kelengkapan sarpras ini berkorelasi dengan tingkat kepuasan warganya.
Demikian juga Denpasar sebagai pusat perekonomian Bali. Hampir 50 persen uang beredar di Denpasar. Lembaga perbankan dan kemudahan pelayanan prima jelas dinikmati warga Denpasar. Namun predikat itu paling tidak mendekati gambaran kondisi sebenarnya.
Perputaran ekonomi dan dampak ekonomi jelas dinikmati pertama oleh warga Denpasar baru daerah lainnya. Predikat bukankah tujuan namun bagaimana kita mendekatkan perilaku warga yang sebenarnya.
Nah soal kota kreatif dan inovatif, Denpasar pantas juga menyandang predikat ini. Namun kalau kita menilai secara jujur apakah warga Denpasar benar-benar kreatif dan inovatif perlu penelitian secara komprehensif. Sebab, yang dinilai selama ini kebanyakan kebijakan dan sistem, bukan perilaku warganya yang kreatif dan inovatif.
Makanya semua instansi berlomba memberikan pelayanan prima. Yang benar malu dong kalau kita sebagai warga Denpasar belum kreatif dan inovatif. Predikat biarkan tetap ada namun semua warga harus bertanya pada diri sendiri sudah kreatifkah kita. Hasil harus linier dengan perilaku warganya, itulah yang utama.
Terlepas dari itu kita patut mengacungkan jempol atas ide dan terobosan yang dilakukan Wali Kota Ida Bagus Rai Dharmawijaya Mantra yang dikenal tokoh ekonomi kreatif di Bali. Termasuk terobosannya menjadikan Denpasar smart city.
Kabupaten lain memiliki peluang yang sama namun belum tentu berani membuat kebijakan pro-rakyat. Seperti revitalisasi pasar tradisional menjadi modern. Menjelang masa akhir jabatannya, warga Denpasar melihat wali kota ini sukses membawa berbagai perubahan.
Lihat saja predikat kota budaya yang dirintis Wali Kota Puspayoga, kini ditambah menjadi Denpasar kreatif berwawasan budaya dalam keseimbangan menuju keharmonisan. Makanya di berbagai kesempatan Rai Mantra selalu menekankan untuk terus berubah dan bertransformasi.
Apalagi di era digital semuanya mengarah pada efisien dan efektif. Semua sektor akan mengurangi tenaga kerja manusia karena sebagian diganti oleh serba digital dan robotik. Untuk bisa eksis di zaman ini kita harus kreatif dan inovatif.
Inilah yang digarap pertama. Melalui dunia pendidikan karena lewat tangan guru kita bisa mengubah mindset manusia. Dengan demikian siapa yang kreatif dan inovatif. Itulah warga Denpasar yang sebenarnya jika berani menjadi kota kreatif.