Cintai dan lestarikan budaya leluhurmu. Ya, memang begitulah seharusnya. Bukan karena semata-mata hormat kepada leluhur tetapi sebuah sikap objektif yang mesti ditunjukkan sebagai sebuah apresiasi sebuah cipta karya serta karsa sebuah peradaban.
Tidak bisa dimungkiri, tidak bisa dinafikan bahwa jejak sejarah itu, baik yang kini sudah ”mati” apalagi yang masih the living monument mesti ditempatkan pada sebuah tempat yang sangat istimewa. Tempat itu tiada lain ada di dalam hati setiap masyarakatnya. Tidak ada tempat lain lagi. Dari hati ini, kalau dipelihara dengan baik akan melahirkan sifat serta sikap personal maupun komunal yang sangat santun dan menghargai.
Begitulah, fakta yang ada saat ini di Bali. Bagaimana kita melihat masyarakatnya menghargai budaya leluhurnya di tengah gempuran dahsyat peradaban lain. Tidak itu saja, dalam konteks internal, juga muncul sikap-sikap yang justru sebaliknya. Tidak menghargai dan ingin melepas tanggung jawab serta benang merah sebagai pewaris budaya Bali yang sah.
Hal ini kalau tidak dipahami serta diresapi secara mendalam, maka lama-kelamaan akan tergerus, hanya tinggal cerita. Budaya hanya sebuah tempelan pada bisnis pariwisata sehingga tidak ada roh atau taksu yang melingkupinya. Semata-mata karena bisnis dan mengejar keuntungan. Tidak ada upaya apresiasi serta preservasi dari banyak pihak. Kalaupun ada, maka porsinya sangat kecil karena masyarakat pendukung budaya asli itu sendiri sudah merasa asing dengan warisan leluhur serta lingkungannya.
Itulah sebabnya, pemerintah Bali saat ini melalui Gubernur Wayan Koster gencar melakukan serangkaian gebrakan. Mulai dari penggunaan bahasa dan aksara Bali, pakaian adat, serta beberapa event atau hajatan budaya yang jelas-jelas mengusung nilai kearifan lokal yang sejatinya membuat masyarakat di dunia takjub.
Pemanfaatan beberapa panggung atau tempat-tempat komunitas masyarakat biasanya berkumpul seperti Taman Budaya diberikan ruang gerak kepada para seniman agar leluasa berkarya. Panggung yang sejatinya paling penting dan menjadi tulang punggung adalah balai banjar setempat. Ini merupakan sebuah infrastruktur penguatan budaya Bali.
Aktivitas budaya serta keagamaan berlangsung di tempat ini. Dalam konteks budaya, tentu kita sangat senang dan bahagia melihat para generasi muda, sekaa teruna mengadakan latihan menari, menabuh gamelan, belajar tentang sastra dan sebagainya. Ini sebuah aktivitas yang perlu dukungan semua pihak. Pemerintah Bali, pemerintah kabupaten, asosiasi terkait, maupun perusahan pariwisata di Bali seyogianya merogoh kantongnya untuk kegiatan berbasis CSR.
Dinamika sebuah kehidupan budaya ini penting dijaga siklusnya. Kalau tidak karena ini, untuk apa sebenarnya turis datang ke Bali? Hanya melihat panorama alam atau mencari pengalaman kekinian dengan mencoba beberapa atraksi artifisial yang sedang ngetren?
Apakah hanya untuk update status di media sosial? Tentu tidak. Mereka mencari sebuah pengalaman yang lain daripada yang lain. Sebuah pengalaman yang semua pancaindra dilibatkan termasuk perasaan. Untuk itulah, hanya keluruhan budaya yang mampu menyentuh hati paling dalam. Kalau kuliner hanya sampai di lidah. Keindahan alam hanya sampai di mata. Budaya, pernak-pernik kehidupan manusia Bali yang unik, ini yang mampu menyentuh sanubari dan tidak akan pernah dilupakan.