Oleh GPB Suka Arjawa
Susunan anggota kabinet Presiden Joko Widodo yang diumumkan hari Rabu yang lalu, cukup mengejutkan. Beberapa pihak dan sebagian masyarakat mungkin mengerutkan kening melihat personel kabinet sekarang. Ada yang menyebutkannya kontroversial, bahkan ada juga yang mengkritik personel kabinet yang muncul membantu Presiden Joko Widodo.
Masuknya Prabowo Subianto terutama, dipandang sebagai salah satu kontroversi dari susunan kabinet ini. Lalu, munculnya mantan jenderal sebagai Menteri Agama dan bos Gojek menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Kemenristekdikti kembali dilebur ke dalam Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Ada sekian kejutan di dalam tubuh kabinet sekarang. Namun, tetap harus diingat bahwa presiden mempunyai hak prerogatif soal itu.
Pada konteks politik, masuknya Prabowo Subianto menjadi anggota kabinet, merupakan salah satu strategi untuk menstabilkan sistem ketatanegaraan. Ini apabila dilihat bahwa kekuasaan merupakan tujuan dari perjuangan politisi. Seluruh masyarakat tahu bahwa baik pada tahun 2014 maupun tahun 2019, persaingan antara Joko Widodo dengan Prabowo Subianto cukup sengit, dan kita semua tahu Prabowo Subianto kalah.
Kekuasaan pastilah lepas dari genggaman. Ketegangan masyarakat pada tahun 2014, cukup panjang pascapemilu karena ada tuntutan melalui Mahkamah Konstitusi, termasuk juga ada berbagai kondisi yang terkesan direkayasa.
Bulan April lalu, lewat televisi, masyarakat melihat kerusuhan di Jakarta setelah pengumuman kemenangan pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Meski tidak terkait langsung, tetapi masyarakat terkesan mengaitkan kerusuhan ini dengan Pemilihan Umum Presiden tahun 2014.
Maka, dua kali kekalahan itu dipersepsikan akan berbuntut kekecewaan, dan karena konsekuensinya besar, maka cara yang paling positif untuk menghindari instabilitas tersebut adalah dengan membagi-bagi kekuasaan tersebut. Atau transfer kekuasaan.
Maka, dalam konteks ini dapatlah dikatakan bahwa jabatan menteri yang diserahkan kepada Prabowo tersebut adalah bentuk pembagian kekuasaan demi stabilitas nasional. Apalagi kemudian terlihat bahwa Partai Gerindra yang menjadi oposan mendapatkan jatah dua menteri.
Sebagai jabatan politik, menteri adalah bagian dari kekuasaan, dan kekuasaan inilah yang akan dipakai untuk membuat kebijakan dan keputusan politik. Kekuasaan itu pula yang dipakai untuk menerapkan ide dan pengaruh yang merupakan bagian dari cita-cita diri atau partai politiknya.
Inilah tujuan dari kekuasaan tersebut. Menjadi menteri jelas mendapatkan kekuasaan, meskipun tidak sebesar dari apa yang didapatkan presiden.
Boleh dikatakan sebagai cara gotong royong menyikapi kekuasaan. Pemberian jabatan menteri kepada Prabowo Subianto itu adalah bentuk gotong royong menyikapi kekuasaan. Jika analisis ini benar, ternyata kekuasaan pun dapat digotongroyongkan di Indonesia.
Jika memang kekuasaan tersebut dapat digotongroyongkan, mengapa harus “bertengkar” hanya untuk mendapatkan kekuasaan tersebut. Apalagi kemudian “pertengkaran” tersebut membuat sarana dan infrastruktur negara hancur dan rakyat ketakutan secara psikologis.
Bukankah lebih baik ada perjanjian “gotong royong” saja menjelang kontestasi pemilu. Di sini cukup terlihat bahwa Indonesia itu terterapkan demokrasi gotong royong, bukan demokrasi yang murni dari Barat. Semestinya, Gerindra dan Prabowo ada pada barisan oposisi.
Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan juga mempunyai kesempatan untuk mewujudkan ide-ide yang dikeluarkannya seperti yang tergambarkan pada kampanye pilpres yang lalu.
Akan tetapi, beberapa komentar juga muncul terhadap masuknya dua komponen Partai Gerindra, terutama Prabowo Subianto di dalam koalisi pemerintahan Joko Widodo ini. Ada yang menyebutkan bahwa perilaku politik dan sistem politik di Indonesia ini aneh, cair, atau tidak terduga.
Dalam bayangan mereka, begitu menegangkannya pemilihan umum presiden yang lalu, dilihat dari perilaku politik pasti akan memunculkan kekuatan pengimbang di dalam sistem politik Indonesia. Peristiwa ini seharusnya sangat menarik untuk diteliti dan diperhatikan dalam perjalanan sejarah politik Indonesia dan berpotensi memunculkan temuan baru dalam iklim politik Indonesia. Misalkan saja signifikansi peran kelompok oposisi model Indonesia. Akan tetapi, hal itu tidak terjadi karena telah masuknya kompetitor dalam pemilu ke dalam pemerintahan.
Yang menarik untuk diperhatikan pada masa mendatang justru adalah perilaku politik yang lain. Dalam arti, bagaimana Gerindra dan Prabowo mampu menyesuaikan diri dengan pemerintahan dan transformasi perubahan sikap di dalam pemerintahan oleh pihak oposisi. Dari sisi politik sebagai upaya untuk mencapai pengaruh, Joko Widodo harus juga berhati-hati dan taktis dalam menjalankan pemerintahan pada periode ini. Agar bisalah selalu bekerja sama dan menyikapi ide-ide dalam kabinet, termasuk dari Prabowo agar keseimbangan kabinet tetap terjamin.
Masuknya Gerindra ke dalam pemerintahan Joko Widodo semakin memperlihatkan sekali lagi bahwa demokrasi gotong royong merupakan cara terbaik untuk mengelola sistem politik dan sistem pemerintahan Indonesia. Dengan cara ini, tidak akan ada lagi konflik yang demikian bertebaran di masyarakat. Jadi, dari sinilah harus kembali dilihat apakah kembali memilih presiden lewat MPR atau bagaimana. Jika bersedia kembali memilih presiden melalui mekanisme MPR, maka akan jauh lebih mampu mengirit biaya.
Hal lain yang mendapat sorotan sekaligus banyolan di media sosial, adalah diangkatnya bos Gojek menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Bahwa seluruh identitas Mendikbud dan Ristekdikti akan kembali dilebur, termasuk cap dan kop surat, muncul berbagai guyonan terhadap Nadiem Makarim, anak muda yang berhasil membangun Gojek dampai ke mancanegara.
Masuknya anak muda ini, boleh dikatakan bagaimana keinginan pemerintah untuk mempercepat integrasi pendidikan di Indonesia dari dasar sampai jenjang pendidikan tertinggi. Harus diperhatikan, bahwa pendidikan itu haruslah berbasis kebudayaan. Karena itulah nama departemennya Pendidikan dan Kebudayaan.
Artinya, segala bentuk dan aspek pendidikan itu harus disesuaikan dengan nilai-nilai yang ada dan kemudian berkembang di Indonesia. Secara umum, model kebudayaan Indonesia itu cenderung lambat dan menunggu keseimbangan untuk perkembangannya.
Dibentuk dasarnya dulu, baru kemudian dikembangkan. Membuat batu bata, para perajin harus meratakan tanah dulu, membasahi, kemudian mendiamkannya beberapa hari, sebelum dicetak menjadi batu bata yang kuat.
Masyarakat Indonesia tidak bisa membuat batu bata langsung karena kualitasnya akan jelek. Karena itu, jika dipaksakan melakukan percepatan di bidang pendidikan, hasilnya akan bisa jelek. Bukankah IPTN sempat gagal, padahal Indonesia sudah mempersiapkan Pelita sejak tahun 1969. Salah satu penyebab kegagalan IPTN adalah menyalahi kultur. Tahapan pelita tersebut, mencerminkan budaya Indonesia.
Penulis adalah staf pengajar Sosiologi FISIP, Universitas Udayana