DENPASAR, BALIPOST.com – Selain hukum positif, hukum adat yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat juga diakui dalam konstitusi negara Indonesia. Untuk itu, dalam menangani persoalan hukum yang menyangkut hal- hal prinsip di wewidangan desa adat, yang masuk dalam lembaga peradilan hendaknya memahami nilai kehidupan masyarakat adatnya.
Menurut Dr. Made Gde Subha Karma Resen, S.H., MKn., salah satu tim ahli dalam pembentukan Perda Desa Adat di Bali beberapa waktu lalu, persoalan hukum di wewidangan desa adat khususnya menyangkut pertanahan, pewarisan yang melibatkan krama, atau permasalahan hukum akibat terjadinya suatu peristiwa hukum yang berakibat hukum bagi bidang tanah dan pewarisan, harus disikapi secara arif dan bijaksana.
Persoalan hukum sekiranya dapat disalurkan terlebih dahulu melalui kelembagaan desa adat. Kelembagaan desa adat merupakan saluran pertama yang harus dihadirkan untuk menyelesaikan persoalan tersebut, sebelum melakukan langkah-langkah hukum berdasarkan hukum positif atau lembaga negara (peradilan). ”Hal ini guna menjaga keharmonisan yang ada di wewidangan adat,” katanya.
Akademisi Fakultas Hukum Unud yang sering disapa SKR itu menegaskan, desa adat yang diakui keberadaannya oleh negara memiliki mekanisme penyelesaian permasalahan atau hasil dari proses/usaha menyelesaikan permasalahan tersebut. Sebagaimana diatur dalam Perda Desa Adat di Bali, permasalahan dapat diselesaikan melalui paruman desa adat.
Hasil paruman di kemudian hari dapat dijadikan rujukan, jika permasalahan tersebut pada akhirnya harus diselesaikan pada lembaga peradilan. Dengan begitu, lembaga peradilan dapat memahami sisi keadilan atau nilai-nilai yang hidup dalam kehidupan masyarakat hukum adat. (Agung Dharmada/balipost)