DENPASAR, BALIPOST.com – Presiden Jokowi menyebutkan ada ancaman resesi ekonomi pada 2020. Proyeksi ini pun tidak dibantah oleh pengamat ekonomi.
Bahkan kondisi ekonomi 2020 dikatakan tidak lebih baik dari ekonomi 2019. Menurut Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana (FEB Unud) Prof. Wayan Ramantha, proyeksi ekonomi 2020 ini dengan melihat perang dagang Amerika dan China yang tidak kunjung berakhir. “Resesi ekonomi adalah kondisi yang harus diantisipasi,” ujarnya Kamis (31/10).
Pelemahan ekonomi Indonesia yang tidak terlepas dari kondisi ekonomi global diawali dengan perang dagang dua negara pemimpin ekonomi dunia yaitu Amerika dan China. Akhirnya harga komoditas mengalami penurunan seiring dengan penurunan permintaan dari kedua negara tersebut.
Indikator terjadinya resesi ekonomi, yaitu pertumbuhan ekonomi mengalami pelambatan dari masing-masing negara. Indikator lain yaitu neraca perdagangan Indonesia yang dulu selalu surplus karena ekspor lebih besar dari impor, berbalik menjadi impor lebih tinggi dari ekspor.
Saat ini Indonesia selalu mengalami negatif ekspor. Hampir dua tahun belakangan. “Akhirnya neraca keuangan kita, cadangan devisa tergerus. Yang kita khawatirkan nanti karena cadangan devisa menurun, akhirnya nilai mata uang melemah. Jadi semua indikator itu baik, pertumbuhan negatif, neraca perdagangan tidak seimbang, ekspor negatif, devisa menurun, nilai tukar mata uang menurun, itulah yang bisa kita katakan sebagai resesi ekonomi,” jelasnya.
Selama ini Indonesia selalu diuntungkan oleh pasar domestik yang kuat karena Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia. Sehingga pertumbuhan ekonomi Indonesia terdongkrak oleh konsumsi domestik.
Komponen inilah yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi Indonesia masih berkisar di angka 5 persen, tidak sampai di bawah 5 persen. Kondisi ini menyebabkan ia pesimis proyeksi pertumbuhan ekonomi 5,4 persen bisa dicapai tahun 2019. “Itulah sebabnya Presiden mewanti-wanti pada 2020, ekonomi Indonesia akan mengalami hal yang sama karena faktor eksternal yang belum berakhir,” tandasnya.
Menurutnya dari perang dagang Amerika dan China, Indonesia dapat mengambil manfaat. Namun selama ini Indonesia belum mampu mengambil peluang itu.
Ketika impor Amerika yang dominan dari China dihentikan, seharusnya kebutuhan Amerika akan barang yang sama dapat dipasok dari negara lain, seperti Indonesia.
Namun nyatanya Indonesia belum mampu mengambil peluang tersebut karena daya saing dan kualitas produk Indonesia belum mampu tembus ekspor ke Amerika. Sehingga ekspor Indonesia ke Amerika pun tidak mengalami peningkatan.
Di lain sisi, Indonesia tidak bisa mengurangi impor, baik dari China maupun Amerika. “Pengaruh resesi dunia itu kita bisa obati dengan tekan impor, dengan memproduksi barang di dalam negeri sendiri. Dengan demikian sektor riil juga akan bergerak, dan tenaga kerja yang bekerja di sektor ini, kemampuan konsumsinya juga semakin kuat,” imbuhnya.
Keputusan Mendag untuk memangkas regulasi guna melancarkan ekspor menjadi tindakan yang tepat dilakukan saat ini. Upaya inipun telah dilakukan sebelumnya, namun dikatakan belum optimal.
Investasi yang ingin digenjot pemerintah juga tidak cukup hanya dengan pembangunan infrastruktur, namun juga kesiapan SDM. Investasi cenderung mengalami pertumbuhan yang tidak berarti.
Ia belum berani memproyeksikan produktivitas dan investasi akan meningkat dengan kabinet baru. Karena yang duduk di kabinet, memiliki pengalaman secara mikro di bisnis. Tapi pengalaman secara makro di tataran kebijakan, perlu dilihat ke depannya. “Jadi belum bisa berharap banyak di tahun pertama (2020), mengalami kemajuan yang berarti,” tandasnya. (Citta Maya/balipost)