DENPASAR, BALIPOST.com – Kewajiban masyarakat di desa adat seringkali menjadi sebuah syarat tambahan untuk memperoleh hak administrasi di desa dinas. Sesuai hasil kajian Ombudsman RI (ORI) Perwakilan Bali, hal ini menyebabkan pelayanan administrasi khususnya administrasi kependudukan (adminduk) menjadi terhambat.
Oleh karena itu, desa adat dan desa dinas harus bersinergi agar pelayanan tidak terganggu ataupun memberatkan masyarakat. “Berdasarkan laporan Ombudsman tahun 2018 tentang administrasi kependudukan, 86 persen sangat terkait dengan permasalahan di desa adat,” ujar Asisten ORI Perwakilan Bali, Dewa Ayu Tismayuni saat menyampaikan hasil kajian terkait Kedudukan Desa Adat dan Desa Dinas dalam Perspektif Pelayanan Publik di Kota Denpasar (Studi Kasus : Pelayanan Publik dalam Pengurusan Administrasi Kependudukan) di Denpasar, Kamis (31/10).
Selain Ombudsman, lanjut Tismayuni, ada juga pengaduan yang masuk ke Tim Saber Pungli Provinsi Bali. Sejak September 2018 hingga Mei 2019, tercatat 55 pengaduan tentang adminduk.
Utamanya, terkait iuran awal atau penanjung batu serta pendataan penduduk non permanen. Berdasarkan adanya pengaduan tersebut, pihaknya lantas melakukan kajian dengan mengambil lokus di Kota Denpasar. Yakni 8 desa dan 10 kelurahan di 4 kecamatan pada ibukota provinsi Bali itu.
“Ada beberapa temuan di lapangan berdasarkan hasil pengambilan data serta pengaduan yang masuk kepada Ombudsman,” jelasnya.
Tismayuni menambahkan, temuan itu antaralain kurangnya anggaran dan SDM dalam pendataan penduduk, adanya perbedaan alur pelayanan di tiap desa, dan kurangnya kesadaran lapor diri masyarakat. Selain itu, alur pengaduan tidak jelas untuk adminduk terkait masalah adat, serta belum adanya kebijakan teknis yang mengatur sinergisitas antara desa adat dan desa dinas dalam bidang adminduk.
Kepala ORI Perwakilan Bali, Umar Ibnu Alkhatab berharap hasil kajian ini bisa menjadi masukan bagi pemerintah untuk memperbaiki pelayanan publik di Bali. Desa dinas dan desa adat khususnya agar bersinergi supaya pelayanan publik lebih efisien dan murah, bahkan tidak ada biaya dan tidak merepotkan.
“Selama ini kan masih merepotkan. Ada masalah di desa adat kemudian dibawa ke ranah dinas, sehingga menghambat warga,” ujarnya.
Umar mencontohkan, Kipem yang sudah dilarang ternyata masih diberlakukan dengan nama berbeda. Kemudian untuk mengurus KTP, dinas tidak mau mengeluarkan kalau tidak ada surat keterangan dari desa adat. “Kita belum mengatakan desa adat bermasalah. Tapi ada beberapa laporan ke kita memperlihatkan kalau ada masalah di desa dinas, pasti awalnya di desa adat,” imbuhnya.
Sekda Provinsi Bali, Dewa Made Indra mengatakan berbagai persoalan yang ditemukan oleh Ombudsman membutuhkan pengaturan teknis dan harus dibenahi. Desa adat dan desa dinas atau kelurahan harus bisa bersinergi agar pelayanan adminduk bisa berjalan sesuai semangat zaman.
Pelayanannya semakin baik, semakin cepat, tidak berbelit-belit, dan semakin murah atau gratis. “Karena ada dua institusi, jangan sampai masing-masing melaksanakan lalu nanti warga yang harus menemui dua institusi itu untuk mendapatkan haknya dalam administrasi kependudukan. Jangan sampai itu terjadi,” ujarnya.
Dari sisi regulasi, lanjut Dewa Indra, adminduk memang dilaksanakan pemerintah desa (desa dinas). Akan tetapi, desa adat juga memiliki kepentingan untuk mendapatkan informasi tentang data kependudukan itu.
Apalagi bila dikaitkan dengan hak dan kewajiban di desa adat. Termasuk memastikan awig-awig bisa ditaati oleh krama-nya.
Dengan demikian, desa adat dan desa dinas tidak perlu dipertentangkan karena sama-sama memiliki kewenangan soal kependudukan. “Karena itu perlu dibuat rumusan pedoman teknis yang memungkinkan kedua insititusi ini bisa berkontribusi dalam pelayanan administrasi kependudukan dan pada sisi lain tidak menambah birokrasi. Seperti apa rumusannya, nanti akan didiskusikan,” tandasnya. (Rindra Devita/balipost)