Diakui atau tidak, di era Jokowi desa mendapat perhatian lebih. Salah satunya dikucurkannya Dana Desa yang setiap tahun mengalami peningkatan. Bahkan desa yang punya prestasi dalam mengelola dana tersebut, juga diberikan bonus tambahan. Sungguh menggiurkan, sekaligus tantangan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat desa.
Program ini tentu tidak lepas dari program Presiden Joko Widodo untuk membangunan dari daerah pinggiran. Banyak yang berharap program yang telah dijalankan lebih dari tiga tahun ini, akan mempercepat mengentaskan kemiskinan di desa. Sebab, dana desa lebih banyak untuk menunjang dan mewujudkan peningkatan ekonomi.
Misalnya membangun jalan desa untuk akses pengiriman produk pertanian. Membuat BUMDes dalam kaitan lebih memandirikan ekonomi orang desa. Sebab, ketimpangan kesejahteraan dalam arti luas masih menganga lebar antara masyarakat di kota dan desa.
Kesenjangan ini jangan sampai melebar dan justru meredupkan kembali asa atau harapan yang mulai muncul di era Jokowi ini. Presiden memang telah melakukan banyak hal dengan membangun banyak infrastruktur sehingga mampu menghubungkan tempat-tempat yang dulunya tidak terjangkau, kini sudah terbuka lebar.
Ini tentu saja perlu waktu karena masing-masing desa mempunyai karakteristik berbeda dan tentu saja perlu cara dan penanganan yang berbeda pula. Tidak cukup hanya menggelontorkan sejumlah uang dan kemudian selesai.
Mesti tahu betul bagaimana potensinya, terutama bagaimana mengembangkan potensi desa dalam arti luas. Tidak saja menyangkut kemampuan manajerial lembaga keuangannya, juga sistem keuangan itu sendiri. Apalagi dikaitkan dengan instrumen lembaga adat tradisional yang memiliki kekhasan dan tentu saja konteksnya dengan Bali sebagai daerah pariwisata.
Sebenarnya, substansi permasalahan tidaklah semata-mata soal finansial. Tetapi menjaga ‘’roh’’ masyarakat pedesaan agar tidak terdegradasi dalam kehidupan masyarakat modern. Pengaruh modernisasi memang tidak bisa dicegah.
Dihindarkan ataupun kita berpaling seolah-olah lari dari kenyataan. Kita mesti menghadapinya dengan semangat masyarakat pedesaan yang masih kental dengan nuansa kebersamaan. Kebersamaan yang telah dikemas dalam sikap profesionalisme dalam mengelola semua aset serta lembaga maupun instrumen milik masyarakat setempat.
Dalam membangun pedesaan tentu tidak serta merta menjadikan desa sebagai kota. Desa harus tetap dengan identitasnya. Identitas desa sebagai penyangga pelestarian lingkungan dan alam.
Desa sebagai komunitas budaya dan tradisi serta desa sebagai penguatan peradaban Bali haruslah tetap terjaga. Namun, dalam pengelolaan potensi pedesaan pendekatan manajemen yang lebih profesional layak dirujuk.
Optimalisasi pengelolaan potensi pedesaan tentu akan lebih mungkin dijabarkan saat ini dengan adanya UU Desa. Selain itu, otonomi pengelolaan anggaran pedesaan lebih memungkinkan terealisasinya proyek-proyek yang memang menjadi kebutuhan riil warga pedesaan. Dengan cara ini, maka pembangunan berbasis pedesaan memungkinkan terjadinya peningkatan taraf hidup warga desa yang ditandai dengan menguatnya kemandirian ekonomi pedesaan.