Ilustrasi. (BP/ist)

Oleh Romi Sudhita

Anak, terutama anak usia sekolah (SD – SMP) sangat senang menonton televisi (TV). Pagi, siang, sore, hingga larut malam, jika dibolehkan menonton, tentu ia mampu duduk di depan pesawat televisi berjam-jam lamanya. Apalagi kalau hari Minggu, mereka sejak bangun pagi sudah menongkrongi si “kotak ajaib” itu TV, melihat/menonton aneka tayangan yang menjadi kesukaannya.

Pada masa kini, anak-anak lebih leluasa mengakses dan dihadapkan pada banyak pilihan yang bisa dipilih. Keadaannya amat jauh berbeda jika dibandingkan dengan situasi pada tahun 1970-an. Ketika itu hanya ada satu TV yaitu TVRI dengan pesawat penerima hitam putih. Sekarang ini sudah ada puluhan televisi nasional ditambah lagi sejumlah televisi produk luar negeri dan beberapa TV lokal yang siap menghibur anak-anak.

Sementara itu, di pihak orang tua selalu merasa khawatir dan cemas jangan-jangan anaknya terlalu asyik memirsa sampai-sampai melupakan tugas pokoknya belajar. Di sinilah terkadang muncul perbedaan pendirian dan kemauan antara anak-anak dengan orangtua. Mereka (orangtua) yang agak otoriter tidak segan-segan menjatuhkan hukuman yang berat kepada anaknya tatkala larangannya tidak dihiraukan, misalnya dengan memukul, menjewer telinganya, memberikan kata-kata pedas yang tak senonoh, bahkan ada yang menghukum dengan tidak atau mengurangi uang jajan sang anak.

Anak Itu Siapa? Yang namanya anak tentu tidak bisa disamakan dengan makhluk-makhluk lain yang lebih rendah dan tidak boleh juga disamakan dengan orang yang sudah dewasa. Anak, ya tetap anak, yang masing-masing memiliki dunianya sendiri-sendiri. Dalam kajian psikologi anak, sejatinya anak itu berada dalam keadaan yang putih bersih, polos, dan lugu (ingat, teori Tabula Rasa-nya John Locke).

Baca juga:  Modal Pertumbuhan Pariwisata 2022

Jika suatu saat nanti menjadi anak yang nakal atau jahat tentu ada faktor yang menyebabkannya. Dan, faktor itu biasanya lebih banyak datang dari luar diri individu si anak (faktor eksternal), misalnya mendapat perlakuan yang kejam dari orangtuanya, mendapat pengaruh yang negatif dari teman-teman sebayanya, dan bisa jadi terpengaruh oleh tayangan-tayangan televisi yang kurang mendidik.

Barangkali pembaca ada yang masih ingat dengan tayangan smack down (adegan pembantingan) di televisi yang sangat membahayakan lalu ditiru oleh si anak. Akibatnya, ada beberapa anak yang tulang rusuknya patah, bahkan ada yang sampai meninggal. Atau tayangan tentang film-film adu jotos, perampokan, penyiksaan yang demikian kejam dan tentu saja tak layak ditonton oleh anak belia yang jiwanya masih hijau.

Kita sebagai orang yang berada di luar “sistem” kehidupan si anak sangatlah bijaksana apabila dapat mengakui bahwa anak itu memiliki kedaulatan tersendiri yang berbeda dengan anak-anak lain apalagi dengan orang dewasa. Seyogianya, anak itu dipandang sebagai subjek sekaligus objek.

Dikatakan sebagai subjek, berarti kita harus menghargai harkat dan martabat anak, termasuk sifat dan perangai yang dibawanya sejak lahir. Sementara itu, anak dianggap sebagai objek, tiada lain merupakan pengakuan terhadap mereka bahwa dirinya mutlak mendapat bimbingan, bantuan, dan arahan mengacu pada tujuan pendidikan secara mikro maupun secara makro (nasional).

Anak memang sangat jauh berbeda dengan binatang atau hewan. Seekor ayam yang baru dilahirkan walau ditinggal beberapa lama oleh induknya, masih bisa mengais makanan guna menyambung hidupnya. Begitu juga ikan, ketika lahir sudah mahir berenang tanpa harus mengikuti diklat (pendidikan dan latihan) terlebih dahulu. Sedangkan manusia tergolong makhluk yang lemah bahkan sangat lemah ketika ia dilahirkan. Tanpa bantuan dan dekapan dari orangtua, terutama ibunya, mustahil anak itu bisa tumbuh dan berkembang sebagai manusia dewasa dan beradab.

Baca juga:  Merekontruksi Efektivitas Pembelajaran

Seorang pakar psikologi, Abraham Maslow, memandang kebutuhan manusia itu berjenjang mulai dari yang paling elementer hingga kebutuhan puncak. Mulai dari kebutuhan biologis (pangan, sandang, papan), kemudian rasa aman, kebutuhan sosial (dihargai dan menghargai, dicintai dan mencintai), kebutuhan rasa ingin tahu, sampai pada kebutuhan aktualisasi diri. Kebutuhan seorang anak belum dianggap cukup kalau hanya diberikan makan, pakaian, dan bekal menjelang berangkat ke sekolah.

Mereka sangat membutuhkan informasi, hiburan, dan pendidikan yang bisa diperoleh di bangku sekolah. Pemenuhan kebutuhan itu satu di antaranya dilakukan melalu memirsa televisi (TV). Saking senangnya anak itu menonton TV dan selalu berada di depan layar gelas itu, sampai-sampai muncul ungkapan bahwa TV itu sahabat karib si anak.

Persoalannya sekarang, boleh nggak anak itu menonton TV? Jika boleh, kapan saja dibolehkan, apakah hanya satu jam, atau hingga subuh menjelang pagi? Jawaban atas pertanyaan ini sangat berhubungan erat dengan tipe atau karakter orangtuanya yang selalu mengayomi kehidupan anak baik dalam keadaan senang maupun dalam keadaan susah.

Dalam teori pendidikan dinyatakan bahwa tipe orangtua biasanya digolongkan menjadi tiga kategori yaitu; tipe otoriter, acuh tak acuh (Laizez faire), dan tipe demokratis. Tipe yang pertama sesuai dengan namanya “otoriter” ditandai dengan sikap yang keras, galak, penuh ancaman, dan terkadang sangat egois (terlalu mementingkan diri sendiri). Tipe kedua bersifat cuek-bebek yang memiliki prinsip “terserah anak” mau ke barat silakan dan mau ke timur tak ada yang melarang.

Baca juga:  Dekonstruksi Pertanian Mendukung Pariwisata

Kedua tipe ini sejatinya sama-sama ekstrem yakni terlalu mengekang dan terlalu longgar. Oleh karena itu, orangtua yang bertipe demokratis (bahasa Bali, de mekerasin)-lah yang selama ini diakui paling jempolan karena ia berada di tengah-tengah dua kubu yang sama-sama ekstrem.

Bagi anak yang memiliki orangtua bertipe demokratis boleh dibilang beruntung karena tidak serta merta melarang apa yang disukai sang anak dan tidak pula terlalu memberikan kebebasan tanpa batas. Ibarat syair lagu dangdut “sedang-sedang saja’’. Anak, entah sulung atau si bungsu, boleh saja menonton TV asalkan bisa memerhatikan kapan waktunya nonton dan seberapa lama mereka itu menonton. Satu lagi tidak melupakan kewajibannya sebagai seorang pelajar yang secara rutin harus belajar.

Dengan hadirnya media sosial (medsos) atau social media (sosmed) ke dalam kehidupan kita, termasuk kehidupan si anak, maka frekuensi dan intensitas menonton TV di layar kaca terasa semakin berkurang. Mereka lalu lari ke dunia medsos, apakah itu twitter, instagram, whatsapp (WA), maupun facebook (FB).

Anak semakin “keranjingan” dengan produk teknologi komunikasi mutakhir yang disebut smartphone semacam Android, menjadi sesuatu yang amat menguntungkan bagi perkembangan anak sekaligus dapat berupa ancaman. Kehadiran medsos tersebut tidak saja di kota tapi juga sudah merambah ke pelosok desa. Anak seusia SD sudah pinter memainkan jari-jemarinya pada tombol atau huruf-huruf yang ada di media tersebut. Semua tokoh dan pakar sepakat bahwa yang namanya produk teknologi diibaratkan pisau bermata dua, bisa bernuansa positif dan sebaliknya bisa bermuatan negatif.

Penulis, pemerhati pendidikan dan pengamat perilaku

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *