Suasana di Bayung Gede, Bangli. (BP/ina)

Oleh Putu Rumawan Salain

Arsitektur bukanlah wujud fisik belaka, di balik wujud tersebut tersimpan ataupun tercermin nilai dan makna bahkan juga menggambarkan kekuatan ideologi dan kepercayaan yang dianutnya. Arsitektur tradisional Bali yang telah berlangsung ratusan tahun terbukti menampilkan jatidiri Bali hingga ke pelataran dunia. Penguatan identitas Bali melalui arsitektur wajib dilakukan ketika beragam pengaruh menghimpit dan menyerang aset tradisi atas nama pembaruan.

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi secara nyata telah menggeser cara-cara manusia bekerja, berpikir, bergaul, berekreasi, dan berbicara (5B), yang bermuara pada perubahan nilai, sikap, cara pandang hingga ideologinya. Manusia sebagai pelaku budaya berupaya beradaptasi dengan berbagai perubahan yang mengitarinya termasuk perubahan iklim yang mendera bumi ini.

Ada kekhawatiran bahwa umat manusia dengan pragmatismenya akan berupaya untuk menyelamatkan kehidupan dan penghidupannya termasuk ruang-ruang mereka beraktivitas yang diwadahi oleh arsitektur.

Industri arsitektur atas nama efisiensi, efektivitas, hiegienis, pelestarian lingkungan, dan lainnya akan mendesak paham-paham tradisi melalui edukasi dan industrialisasi. Pergulatan atas nama tradisi dan kebaruan ‘’perubahan’’ akan menciptakan berbagai identitas baru yang bisa saja kering dari sudut makna.

Kemajuan pembangunan Bali harus diakui oleh karena pertumbuhan perekonomian yang dimotori oleh pariwisata. Pariwisata menjadi katalisator, inisiator, kreator, provokator, motivator, dan lainnya dalam berbagai segi penghidupan dan kehidupan di Bali dan Indonesia pada umumnya.

Baca juga:  Wujudkan Industri Kreatif Jadi Tulang Punggung Ekonomi, IACF Digelar

Fasilitas pariwisata membutuhkan lahan, ruang, dan bangun arsitektur sesuai dengan fungsinya masing-masing. Perubahan fungsi dan kepemilikan lahan maupun ruang dilengkapi dengan beragam bangun arsitektur yang menampilkan identitas yang meragam.

Arsitektur adalah suatu karya cipta, karsa, dan rasa para arsitek yang secara sadar maupun tidak merupakan arena pertunjukan sekaligus pergulatan identitas. Kenapa identitas menjadi penting?

Identitas menjadi penting karena slogan satu dunia yang menghapus batas-batas berakibat pada kian derasnya arus informasi melalui iptek akan dapat memengaruhi sendi-sendi lokal genius yang menjadi konsep dan filosofis berkreasi dan berinovasi khususnya yang terkait dengan identitas. Arsitektur dan identitas adalah dua topik yang sangat akrab untuk menuturkan atau menuliskan dirinya.

Di era post modern arsitektur, arsitektur dipandang sebagai bahasa ‘’teks’’. Keberadaannya akan bertutur tentang apa, siapa, mengapa, dan bagaimana, karya arsitektur tersebut sehingga oleh pengamat dalam komunikasinya membentuk sense of place, sense of time, dan ambience lingkungannya yang melahirkan citra arsitektur, citra kota, dan akhirnya citra Bali.

Apa itu identitas? Secara umum dapat dijelaskan bahwa identitas adalah: ciri ataupun jati diri yang dapat saja berupa fisik maupun sosial budaya. Identitas diciptakan, dan setiap identitas bisa saja merupakan milik perseorangan, kelompok, hingga bangsa dan negara. Dengan kata lain identitas adalah merupakan produksi tanda dan simbol yang sangat dilatarbelakangi oleh modal sosial dan modal budaya mereka masing-masing.

Baca juga:  Setelah Pelonggaran Masker, Bali Perlu Kebijakan ”Write Off”

Pada tahun 1974 yang lalu melalui Peraturan Daerah Nomor 4, Pemerintah Provinsi Bali menerbitkan peraturan tentang bangun-bangunan yang melindungi keberadaan arsitektur tradisional Bali sebagai ujung tombak pemerintahan identitas di Bali. Mereka menyadari bahwa dengan dibangunnya Hotel Bali Beach dan perluasan Airport Tuban (kini Bandara I Gusti Ngurah Rai) untuk mendukung kepariwisataan yang diduga akan berdampak pada berbagai identitas yang akan tumbuh dan berkembang selanjutnya. Pengaturan tersebut bermakna pada konservasi sekaligus pelestarian pada arsitektur tradisional Bali.

Selanjutnya karena pesatnya pembangunan dan dibutuhkan peraturan yang lebih implementatif lahirlah Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2005 yang mengatur tentang Persyaratan Arsitektur Bangunan Gedung. Dalam peraturan tersebut telah ditetapkan hanya ada empat kategori arsitektur yang boleh ada di Bali yaitu: 1) Arsitektur Setempat ‘’lokal’’ (Penglipuran, Tenganan, Sidatapa, dan lainnya). 2) Arsitektur Warisan ‘’Heritage’’, berupa Pura dan Puri. 3) Arsitektur Tradisional Bali, yang berpijak atas Asta Bumi, Asta Kosala-Kosali dan lainnya, serta 4) Arsitektur Non-Tradisional Bali. Untuk kategori 1, 2, dan 3 tidak ada persoalan karena objek, aturan, dan ahlinya masih ada!

Khusus yang kategori ke-4 dipersiapkan mengingat berbagai fungsi baru yang tidak dapat diakomodasi oleh kaidah-kaidah tradisi. Dimensi yang wajib diterapkan dalam Arsitektur Non-Tradisional Bali adalah wajib menampilkan gaya arsitektur tradisional Bali beserta prinsip-prinsipnya melalui: wujud, bahan, struktur, ornamen, warna, dan memenuhi kaidah tata nilai ruang serta tri angga (kepala, badan, dan kaki), yang selaras dan harmoni dengan lingkungannya.

Baca juga:  Belajar Genial Lewat Koran

Harus diakui bahwa usaha pemerintah sebagai regulator tidak berhasil dengan mulus karena ada saja pihak yang bermain mata untuk meniadakan identitas arsitektur entah karena keahlian si arsitek, sang penguasa, pemberi izin, pertimbangan harga, biaya pemeliharaan, dan lainnya, sehingga ada karya-karya arsitektur yang tidak menampilkan identitas Bali.

Lihat saja di kawasan bandara sebagai welcome area kesan atau identitas Bali sangat jauh dari harapan. Demikian pula sepanjang Jalan By-pass I Gusti Ngurah Rai sampai dengan Nusa Dua dijumpai ada bangun arsitektur yang sama sekali tidak menerapkan peraturan daerah yang mengatur tentang Arsitektur Bangunan Gedung.

Ketika aArsirektur diajukan sebagai objek penguatan identitas Bali, sesungguhnya dalam khazanah arsitektural bukanlah sekadar wujud belaka namun di balik itu berkaitan dengan penyediaan bahan bangunan, undagi, tukang, sesajen, upakara, sampai dengan keterlibatan sulinggih.

Berbagai fungsi yang berkaitan dengan kegiatan apa pun dalam kehidupan dan pembangunan akan bermuara pada penyediaan wujud arsitektur. Misalnya kegiatan berkesenian, pendidikan, kesehatan, pemerintahan, penerbangan, penginapan, perdagangan, rekreasi, dan sebagainya pasti membutuhkan wadah berupa karya arsitektur.

Penulis, Guru Besar Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Udayana

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *