DENPASAR, BALIPOST.com – Pengambilalihan agunan oleh BPR menjadi keluhan nasabah belakangan ini. Sebab, pengambilalihan agunan ini dinilai tidak mengikuti prosedur perbankan.
Kondisi ini pun diakui Kepala OJK Regional VIII Bali Nusa Tenggara, Elyanus Pongsoda, Senin (11/11). “Kalau secara formal (tertulis, red) itu data pengaduannya ke OJK tidak banyak. Tapi informasi–informasi lain yang beredar memang ada. Bahkan yang pernah saya sampaikan waktu itu kan ada beberapa yang sudah masuk ke persidangan di pengadilan terkait pengambilalihan agunan oleh BPR. Jadi masyarakat memprotes pengambilan agunan oleh BPR,” ujarnya.
Ia pun masih melakukan pemeriksaan secara seksama terkait aduan kasus agunan yang ada. Sesuai ketentuan kalau sudah macet, harus didahului dengan beberapa surat peringatan. Jika sudah diberikan surat peringatan dan pembinaan tetapi belum juga dilakukan pembayaran, ada mekanisme AYDA (Agunan yang diambil alih).
Ketentuan AYDA adalah maksimum 2 tahun harus dijual. Agunan tersebut tidak bisa disimpan. “Nah ini mekanisme–mekanisme ini yang perlu saya teliti satu-satu di BPR, karena itu yang dikeluhkan oleh masyarakat. Misalnya ada mungkin mekanisme yang terlampaui, makanya mesti saya lihat lagi. Apa mungkin belum sampaikan surat peringatan secara intensif, belum dilakukan komunikasi secara intensif dengan BPR?” imbuhnya.
Menurutnya jika AYDA tidak segera dijual, akan menjadi beban bagi BPR dan mengurangi modal BPR. Untuk itu BPR pun harus membentuk CKPN (Cadangan Kerugian Penurunan Nilai).
Menjual agunan harus dilakukan BPR jika kredit yang disalurkan macet. Hal itu merupakan salah satu upaya agar NPL tidak tinggi. “Karena kalau dia bisa jual, kan ada dana masuk. Tapi kalau dia macet, berisiko,” tandasnya.
Laporan kinerja BPR tahun ini menunjukkan NPL BPR di Bali sudah mengalami penurunan dari 8,7 persen pada Juni 2019 menjadi 8,5 persen pada September 2019. Upaya yang dilakukannya yaitu memanggil secara intens satu persatu BPR yang ada di Bali.
Upaya lain yang dilakukannya untuk menurunkan NPL adalah mendorong penjualan AYDA. “Karena kadang–kadang, mereka mau jual harganya di bawah harga pasar, karena properti lagi lesu apa boleh buat, turun sedikit daripada macet,” sebutnya.
Sedangkan NPL bank umum 2,77 persen. Ia menargetkan hingga Desember 2019, NPL di Bali di bawah 5 persen untuk bank umum dan BPR 7 persen. Sedangkan tahun depan, target NPL BPR yaitu dapat ditekan menjadi 5 persen.
Kinerja NPL yan menunjukkan perbaikan juga diikuti dengan pertumbuhan kredit dan DPK yang baik. Pertumbuhan kredit di Bali di atas– rata nasional yaitu 8 – 9 persen, sedangkan nasional hanya tumbuh 7,88 persen. “Bank umum dan BPR dalam 1 tahun terakhir pertumbuhan kreditnya juga hampir 8 persen, jauh di atas pertumbuhan kredit nasional sekitar 7 persen,” ungkapnya.
Bahkan DPK per September tumbuh hampir 17 persen (yoy). Sementara nasional tumbuh 7 persenan. Ia menargetkan tahun ini kredit bank umum dapat tumbuh 10 -12 persen. (Citta Maya/balipost)