Suasana di TPA Suwung yang akan dijadikan green belt serta proyek "waste to energy." (BP/wan)

DENPASAR, BALIPOST.com – Tumpukan sampah di TPA Sarbagita Suwung paling banyak bersumber dari Denpasar, sebesar 815 ton per hari. Kemudian Badung sebanyak 127 ton per hari, Gianyar sebanyak 85 ton per hari, dan Tabanan sebanyak 4 ton per hari.

Akan tetapi, khusus Gianyar dan Tabanan sudah berhenti membuang sampah ke TPA Suwung sejak 2018. “Denpasar sebagai penyumbang sampah terbesar hanya menyediakan 2 unit alat berat, yakni ekskavator dan buldozer dalam kondisi sering rusak dan tidak bisa dipakai. Bagaimana bisa bekerja optimal di sana?”  ujar Gubernur Bali, Wayan Koster dalam Rapat Paripurna DPRD Bali, Senin (11/11).

Kendati, lanjut Koster, Denpasar menugaskan pula 10 orang untuk mengatur keluar masuk truk sampah. Sedangkan Badung, hanya menyiapkan 1 unit ekskavator yang juga dalam kondisi sering rusak. Selain itu, hanya menugaskan 1 orang untuk mengoperasikannya. “Bagaimana tidak kelabakan di sana. Sampah terus mengalir. Pantas saja masyarakat di sana ribut karena bau terus, kebakaran lagi. Marah lah klian sama pecalangnya, ditutup lah tempat itu. Yang nutup ini bukan gubernur, tapi klian adat bersama pecalangnya,” jelasnya.

Baca juga:  Kawasan Kaldera Gunung Batur Dijadikan Tempat Buang Sampah

Koster menambahkan, TPA Suwung harus menjadi perhatian khusus karena lokasinya sangat strategis. Yakni bersebelahan dengan By Pass Ngurah Rai menuju bandara Ngurah Rai, perairan, dan pelabuhan Benoa.

Oleh karena itu, Pemprov Bali ikut berkontribusi menyediakan ekskavator layak pakai dan memberi bantuan truk konverter baru untuk Pemkot Denpasar. Truk itu bahkan sudah beroperasi sejak 30 Oktober 2019.

Sebanyak 30 orang (2 shift) juga ditugaskan untuk mengatur ke luar masuk truk sampah, menyiram, memadatkan, dan mengawasi pengelolaan sampah. “Berikutnya lagi saya meminta kepada Menteri PUPR agar dibantu lagi dengan 2 alat berat, 1 ekskavator dan 1 buldozer. Disetujui oleh Menteri PU, akhir tahun ini akan diberikan lagi 2,” imbuhnya.

Menurut Koster, masalah sampah mengganggu citra pariwisata Bali dan tidak bisa diselesaikan hanya dengan wacana atau sekedar wara-wiri mencari penghargaan. Sampah di TPA Suwung khususnya bahkan telah menjadi agenda pembahasan dalam rapat terbatas yang dipimpin presiden.

Baca juga:  Polemik Sampah Semoga Ada Solusi

Atas arahan pemerintah pusat, langkah-langkah yang kini diambil adalah merancang solusi dalam bentuk Kerjasama Pemerintah Badan Usaha (KPBU) untuk pengelolaan sampah. Saat ini juga sedang dilakukan finalisasi studi kelayakan oleh PT. Penjaminan Infrastruktur Indonesia, badan usaha milik Kemenkeu. “Pemprov dengan difasilitasi pemerintah pusat akan melakukan beauty contest dalam menentukan pihak yang sanggup membangun infrastruktur pengolahan sampah dengan biaya investasi paling murah, teknologi yang ramah lingkungan sehingga bisa meminimumkan beban biaya dari APBN dan APBD,” tambahnya.

Langkah berikutnya, lanjut Koster, telah dilakukan rapat dengan pemerintah pusat di Jaya Sabha dan menghasilkan sejumlah keputusan. Yakni, memohon kepada Menteri PUPR untuk membangun pekerjaan konstruksi sipil dan site preparation dalam pembangunan Pengolahan Sampah Menjadi Energi Listrik (PSEL) Bali dan dapat diputuskan dalam waktu paling lama satu minggu.

Baca juga:  Gagal Tangani Sampah, Pemimpin Bali Harus Berani Mundur

Hal ini juga untuk mengurangi beban tipping fee pada APBD kabupaten/kota. Target waktu pra kualifikasi Proyek PSEL Sarbagita dimulai 2 Desember 2019. “Perusahaan yang terpilih diharapkan sudah bisa melakukan pembangunan konstruksi paling lambat akhir tahun 2020 dengan masa kerja paling lama 2 tahun,” terangnya.

Pemprov Bali dan Sarbagita juga menyepakati untuk memberikan kontribusi Biaya Layanan Pengelolaan Sampah maksimum 65 persen. Kemudian, pemerintah pusat mengupayakan tambahan subsidi melalui skema Dana Dukungan Tunai Infrastruktur untuk mengurangi beban Pemerintah Daerah.

Di sisi lain, Kemenkeu juga diharapkan mendukung usulan Ranperda Kontribusi Wisatawan untuk Pelindungan Alam dan Budaya Bali. “Kalau kontribusi ini selesai, perda ini disetujui, saya kira tipping fee atau beban yang ditanggung oleh Kota Denpasar bisa kita alihkan sehingga tidak membebani APBD Kota Denpasar karena ruang fiskalnya tidak berkembang dari 4 tahun lalu,” pungkasnya. (Rindra Devita/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *