Ikut JKN
Ilustrasi. (BP/dok)

DENPASAR, BALIPOST.com – Peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Bali saat ini sudah mencapai target Universal Health Coverage atau sekitar 95.69 persen. Artinya dari data penduduk semester II 2018, penduduk Bali dengan jumlah 4.216.169 orang yang sudah memiliki JKN sebanyak 4.034.477 orang.

Dari jumlah ini ternyata 73 persen preminya dibayarkan pemerintah baik pusat lewat dana APBN maupun pemerintah daerah lewat dana APBD. Berdasarkan data dari BPJS Kesehatan per Oktober 2019, dapat dilihat jika segmen terbanyak JKN adalah peserta JKN Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang preminya dibayarkan pemerintah daerah yaitu sebanyak 1.411.261 orang atau sekitar 34,98 persen menyusul peserta JKN penerima upah yang iurannya dibayarkan pemerintah ataupun swasta sebesar 27,40 persen atau 1.105.340 orang.

Sementara untuk peserta JKN PBI yang iuran preminya dibayar melalui APBN sebesar 21,63 persen atau sebanyak 872.691 orang. Sementara untuk peserta bukan penerima upah atau biasa disebut peserta mandiri sebesar 13,80 persen atau sebanyak 556.667 orang. Dan terakhir adalah peserta bukan pekerja sebanyak 2,19 persen atau sebanyak 88,518 orang.

Baca juga:  BPJS Kesehatan Alami Krisis Keuangan, Jokowi Sebut Usulan Kenaikan Iuran Masih Dikalkulasi

Deputi Direktur BPJS Kesehatan wilayah Bali, NTB dan NTT, dr. I Made Puja Yasa, AAK, Senin (11/11) mengatakan kenaikan premi untuk peserta PBI baik dari APBN maupun APBD akan berlaku per 1 Agustus 2019. Sementara untuk segmen pekerja penerima upah yang preminya dibayarkan pemerintah pusat berlaku per 1 Oktober 2019 sementara untuk pekerja penerima upah yang preminya dibayarkan pemerintah daerah dan swasta serta peserta mandiri berlaku 1 Januari 2020.

Adapun kenaikan premi dijelaskan Puja jika berdasarkan review Persatuan Aktuaris Indonesia (PAI) seharusnya premi untuk peserta mandiri kelas 1 idealnya adalah Rp 274.204 per orang per bulan, kelas 2 sebesar Rp 190.639 per orang per bulan dan kelas III sebesar Rp 131.195 per orang per bulan. Namun pemerintah kemudian melihat kemampuan daya beli dari masyarakat sehingga premi idealnya ini tidak sepenuhnya diikuti sehingga ditetapkan kenaikan kelas I preminya menjadi Rp 160.000 per orang per bulan, kelas II menjadi Rp 110.000 per orang per bulan dan kelas III menjadi Rp 42.000 per orang per bulan. ”Jadi pemerintah tetap memberikan subsidi dan kenaikan ini tidak sepenuhnya mengikuti review dari PAI dan disesuaikan dengan daya beli masyarakat,” ujarnya.

Baca juga:  Bali Terima Penghargaan Universal Health Coverage Program JKN

Menurutnya, dalam kenaikan premi ini, pemerintah berkontribusi besar dalam hal pembayaran premi. Ini bisa dilihat dari data di Bali kepersertaan total JKN, 73 persen preminya ditanggung pemerintah baik pusat maupun daerah. Untuk terjadinya turun kelas bagi peserta mandiri menurut Puja pasti ada dan akan menyesuaikan sesuai daya belinya. ”Tentu akan ada pengaruh dari penerimaan iuran peserta mandiri. Tetapi tidak begitu banyak. Jika dilihat dari jumlah, peserta mandiri JKN di Bali hanya 13,80 persen dan itupun kebanyakan kelas III,” ujar Puja.

Dengan kenaikan premi ini, tentu akan berimbas pada kualitas layanan yang diterima peserta JKN dimana dengan adanya kenaikan iuran artinya akan ada kelancaran pembayaran klaim ke faskes yang bekerjasama dengan BPJS. Kelancaran pembayaran ini menyebabkan peningkatkan kualitas layanan di rumah sakit untuk peserta JKN.

Baca juga:  Nasional Catat Seribuan Kasus COVID-19 Baru

Untuk meningkatkan kualitas layanan di faskes, Puja melanjutkan saat ini BPJS berupaya menguatkan peran Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) sebagai gate keeper melalui penerapan rujukan horizontal secara bertahap. BPJS Kesehatan juga sudah telah mengeluarkan Peraturan BPJS nomor 7 tahun 2019 yang berisi pembaharuan aturan penerapan Kapitasi Berbasis Kinerja bagi FKTP.

Dalam peraturan ini salah satu indikator dan target penilaian kerja FKTP adalah ratio rujukan non spesifik kurang dari dua persen. Dengan demikian peserta JKN bisa memperoleh pelayanan secara tuntas di FKTP sehingga angka rujukan ke RS bisa dikendalikan. Sementara di tingkat Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan, review kelas rumah sakit juga harus benar-benar dilaksanakan agar rumah sakit bisa memberikan layanan kesehatan sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya sehingga ada pemerataan akses layanan rumah sakit dan peserta JKN-KIS bisa mendapatkan penanganan yang maksimal. (Wira Sanjiwani/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *