Oleh Agung Kresna
Setengah lahan reklamasi Pelabuhan Benoa jadi paru-paru kota. Headline Bali Post (3/11) bagai angin segar yang terasa menyejukkan di sela-sela sesaknya udara wilayah perkotaan di Bali Selatan. Tingkat polusi udara di perkotaan memang cenderung terus meningkat seiring makin merebaknya sumber polusi dan berkurangnya sarana peredam polusi yang ada. Secara kondisi keseluruhan Pulau Bali, situasi polusi udara relatif masih belum mencemaskan.
Namun di wilayah perkotaan yang memiliki tingkat kepadatan lalu lintas cukup tinggi, tingkat polusi udara semakin bertambah setiap tahunnya. Membangun hutan kota di kawasan Pelabuhan Benoa adalah upaya mengurangi tingkat pencemaran udara yang sudah berada pada tingkat mencemaskan, utamanya di wilayah perkotaan.
Emisi gas buang dari kendaraan bermotor memang ditengarai sebagai penyumbang pencemaran udara yang cukup besar. Semakin banyaknya jumlah kendaraan bermotor memang menjadi situasi yang tidak terhindarkan akibat belum optimalnya angkutan publik yang ada. Pada gilirannya, masyarakat berusaha memenuhi kebutuhan sarana transportasinya dengan memiliki kendaraan bermotor pribadi.
Di sisi lain, menurunnya daya dukung lingkungan hidup menambah karut marutnya tingkat polusi udara di kawasan perkotaan yang padat penduduknya. Meningkatnya penduduk urban di perkotaan secara tidak langsung telah memberi tambahan beban lingkungan hidup di area tersebut. Belum lagi ditimpali dengan alih fungsi lahan yang telah banyak mengubah kawasan terbuka hijau menjadi area terbangun. Kapasitas daya dukung lingkungan menjadi turun dan polusi semakin meningkat.
Polutan udara sebagai produk pencemaran yang terjadi pada udara perkotaan sebenarnya dapat diredam melalui keberadaan vegetasi yang cukup pada ruang terbuka hijau di perkotaan. Sayangnya, ketersediaan ruang terbuka hijau di perkotaan dari hari ke hari semakin menyusut akibat deru mesin ekonomi modern yang cenderung memicu alih fungsi lahan akibat tingginya nilai ekonomi lahan di kawasan perkotaan.
Hutan Kota
Desain baru Pelabuhan Benoa pascarusaknya lingkungan hutan mangrove akibat reklamasi, merupakan desain ramah lingkungan secara fisik dan sosial. Hal ini mengingat karena selain adanya kehadiran hutan kota, sekaligus juga akan ada ruang untuk pelaksanaan kegiatan desa adat dan pemerataan ekonomi di luar kawasan pelabuhan atau ekonomi inklusif. Sehingga nantinya, Pelabuhan Benoa akan lebih memiliki daya tarik bagi wisatawan.
Sekitar 51 persen –atau setara 13 hektar- area Dumping I akan dijadikan hutan kota. Sementara pada area Dumping II, hutan kota akan memiliki luas 23 hektar (juga setara 51 persen area Dumping II). Sehingga bisa dikatakan bahwa lebih dari setengah lahan reklamasi Pelahuhan Benoa akan menjadi kawasan hutan kota yang berfungsi sebagai paru-paru kota, guna meredam polutan udara perkotaan –utamanya di kawasan Bali Selatan.
Sejatinya, krama Bali sudah cukup bijak dalam menata ruang fisik lingkungan hunian kehidupannya. Krama Bali menciptakan ruang terbuka hijau berwujud telajakan yang dapat menjadi contoh bagaimana membuat kawasan ekologis pada area semipublik. Memang saat ini, nilai strategis posisi telajakan yang berada di jalan raya telah memicu terjadinya perubahan fungsi. Saat ini, telajakan banyak yang berubah menjadi warung akibat tuntutan fungsi ekonomi.
Di sisi lain, krama Bali juga selalu menghargai pohon-pohon besar berusia puluhan tahun sebagai warisan leluhur dengan segala kandungan fungsi ekologis maupun filosofisnya. Mindset seperti ini merupakan wujud implementasi konsep palemahan bagi krama Bali. Bahwa kita harus hidup harmonis menyatu dengan alam lingkungan kita. Ruang terbuka hijau di perkotaan tidak cukup hanya tanah lapang berumput hijau sebagai area penyerap air tanah, namun juga harus penuh pepohonan sebagai sarana respirasi udara kota.
Kawasan Badung Selatan menjadi kawasan yang mengalami tingkat degradasi pencemaran udara cukup tinggi. Kondisi ini lebih banyak disebabkan karena tingginya alih fungsi lahan akibat tuntutan pembangunan sarana akomodasi industri pariwisata. Konsentrasi objek tujuan wisata yang ada di wilayah Badung Selatan, ikut menyumbangkan polutan udara yang berasal dari emisi gas buang kendaraan bermotor sebagai alat transportasi para wisatawan.
Sementara itu, ada indikasi bahwa Kota Denpasar merupakan satu area yang memiliki kualitas udara paling buruk di Pulau Bali. Hal ini lebih disebabkan karena penduduknya yang cukup padat serta adanya dominasi kendaraan bermotor yang cukup masif di kawasan Kota Denpasar. Sekaligus hal ini mengonfirmasi bahwa sistem transportasi publik tidak berfungsi dengan baik, sehingga krama Bali maupun wisatawan terpaksa menggunakan kendaraan pribadi.
Upaya pengelolaan dan pengendalian dampak lingkungan meredam polutan udara, harus dilakukan secara simultan dan konsisten. Pelanggaran terhadap fungsi tata ruang juga harus ditindak secara tegas agar kerusakan lingkungan tidak semakin bertambah. Ada beberapa langkah yang harus mulai kita lakukan sebelum semuanya menjadi terlambat.
Pertama, perlu dilakukan upaya mengendalikan sekaligus mengurangi sumber polusi udara. Utamanya sumber polusi yang berasal dari emisi gas buang kendaraan bermotor. Upaya ini dapat dilakukan dengan mengoptimalkan transportasi publik guna mengurangi penggunaan kendaraan pribadi. Serta penggunaan energi terbarukan dan ramah lingkungan pada sarana transportasi.
Kedua, menanam jenis pohon yang juga memiliki fungsi sebagai peredam polutan udara. Pohon yang ditanam di area hutan kota, tidak cukup jenis pohon yang semata memiliki fungsi perindang dan penghasil oksigen yang cukup signifikan. Namun juga harus dipilih jenis pohon yang memiliki kemampuan menetralkan polutan udara, sekaligus agar polusi udara dapat diredam oleh pohon dalam hutan kota.
Ketiga, perilaku ekologis krama Bali harus dibangkitkan kembali. Kesadaran lingkungan krama Bali harus terus dipupuk secara berkesinambungan. Karena pada dasarnya krama Bali telah memiliki social capital (modal sosial) dalam bentuk filosofi Tri Hita Karana. Hanya, deru mesin industri pariwisata sedikit banyak memang telah menimbulkan kontaminasi sosial.
Hutan kota (city park) sebagai suatu taman dapat menjadi salah satu solusi meredam sekaligus penawar polutan udara melalui keberadaan pohon-pohon yang ada. Di kota-kota besar dunia, hutan kota justru sering menjadi ikon kota, karena kehadiran hutan kota dianggap sebagai manifestasi tingginya peradaban warga kotanya.
Realitas ini karena hutan kota yang biasanya sekaligus sebagai taman kota, juga memiliki fungsi sosial sebagai sarana interaksi sosial dan komunikasi langsung antarwarga kota. Sehingga, hutan kota sekaligus akan mampu meredam konflik dan kesenjangan sosial yang mungkin timbul di tengah masyarakat.
Penulis, arsitek Senior Researcher pada Centre of Culture & Urban Studies (CoCUS) Bali, tinggal di Denpasar