Lagi-lagi, menteri barunya Jokowi membuat statement yang memicu reaksi publik. Setelah pernyataan Menteri Agama yang menuai kontroversi, kini dilakukan oleh Menparekraf Wishnutama.
Namun, belakangan pernyataan itu diakui ada kekeliruan oleh media pengutipnya. Meskipun kita menyadari betul bahwa semua orang bisa keliru, semua orang bisa melakukan kesalahan tetapi apa yang dilakukan oleh pejabat tinggi negara, seorang pejabat publik yang sekaligus sebagai figur publik tentu sangat disayangkan.
Slip of the tongue kemudian mencari kambing hitam, mengaku tidak melakukan hal itu dan sebagainya merupakan lagu lama. Berpikirlah dulu sebelum bicara. Berpikirlah dulu sebelum bertindak. Ini mutlak hukumnya bagi seorang pejabat karena mereka ini panutan.
Pernyataan mereka bisa memengaruhi banyak orang. Okelah Menteri Pariwisata Wushnutama mengaku tidak melakukan hal itu. Tetapi sangatlah bijak, jika dia sendiri datang ke Bali, datang ke Sumatera Utara untuk bicara langsung. Dialog itu penting.
Semua bisa cair kalau ada komunikasi. Tidak perlu saling umbar statemen, saling umbar caci maki di media sosial. Mari kita berbangsa dan bernegara dengan lebih bijak dan arif.
Perlu ditekankan oleh Jokowi kepada semua pembantunya untuk lebih berhati-hati. Lebih fokus dan smart. Khusus untuk pariwisata, mantan bos TV ini perlu lebih banyak bertanya, melihat, dan bergaul dengan segala lapisan.
Perlu diajarkan bahwa Indonesia ini penuh dengan kebinekaan. Local genius masing-masing daerah membuatnya unik dan menjadi potensi sebagai daya tarik. Dan Bali sendiri, dengan sejarah panjang wisatanya, sudah sangat jelas petanya di dalam agenda wisatawan yang multikultur, multietnis, multiagama dan lainnya. Pariwisata Bali adalah pariwisata budaya yang ramah terhadap budayanya sendiri, lingkungan alamnya, dan manusianya.
Semuanya itu terbungkus dalam Konsep Tri hita Karana yang dijiwai oleh Agama Hindu.
Bali ini ramah kepada siapa saja, tidak perlu diragukan lagi. Tidak perlu lagi statement macam-macam yang membuat gaduh. Datanglah ke Bali, nikmati keasrian alam dan keluhuran budayanya.
Tentunya, masyarakat Bali ingin dedikasinya menjaga pariwisata diayomi oleh pusat. Pemerintah pusat tentu juga harus memahami kontribusi dan peran strategis Bali dalam pariwisata nasional.
Jadi, pendekatan pengelolaan kepariwisataan bukan berdasarkan kepentingan agama atau embel-embel lainnya yang justru bisa menimbulkan relasi negatif. Pariwisata butuh kenyamanan dan kenyamanan ini tentunya harus dibangun oleh semua elemen yang bergerak di dalamnya, jangan mengusik peran serta masyarakat dalam pengelolaan kepariwisataan dengan pendekatan agama. Biarkan Bali punya jati diri dalam pengembangan kepariwisataan.