DENPASAR, BALIPOST.com – Bali diapresiasi lantaran tingkat partisipasi dan kepatuhan membayar iuran BPJS Kesehatan rata-rata di atas 95 persen. Namun ada dampak dengan adanya rencana kenaikan iuran per 1 Januari 2020 sesuai isi Perpres No.75 Tahun 2019.
Salah satu prediksi yang muncul, akan banyak peserta turun kelas khususnya dari peserta mandiri. “Baru prediksi kalau nanti ada kenaikan, pasti akan turun banyak ke kelas III sehingga rumah sakit juga perlu menyiapkan atau menata diri untuk menyesuaikan layanan kepada masyarakat,” ujar Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Sri Rahayu saat melakukan kunjungan kerja ke Dinas Kesehatan Provinsi Bali, Jumat (15/11).
Menurut Sri Rahayu, rumah sakit perlu memperbanyak tempat tidur untuk kelas III. Utamanya dalam menyongsong pemberlakuan kenaikan iuran BPJS Kesehatan tahun depan.
Meskipun secara nyata, pihaknya belum mengetahui yang nanti akan menjadi kekurangan ataupun masalah saat iuran naik. “Hasil kunjungan kerja akan kita bawa ke Komisi, kemudian kita akan lakukan rapat kerja dengan Kementerian dan stakeholder terkait. Kesimpulannya nanti akan dipakai sebagai dasar melakukan perbaikan ke depan,” imbuhnya.
Anggota Komisi IX DPR RI Dapil Bali, I Ketut Kariyasa Adnyana mengatakan, kenaikan iuran akan berpengaruh pada kenaikan tanggungan daerah. Apalagi Bali sudah UHC (Universal Health Coverage, red) 95 persen.
Hal ini tentu akan sangat memberatkan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Anggaran kesehatan akan habis untuk membayar iuran BPJS Kesehatan saja. Padahal ada kepentingan lain seperti upaya preventif atau mencegah stunting. Kalau perlu, Undang-undang tentang Jaminan Kesehatan Nasional akan dievaluasi terkait hal itu.
“Kita lihat data masyarakat miskin secara nasional mestinya tidak banyak pemerintah menanggung. Tapi koq besar sekali. Kemudian mengenai bagaimana sistem rujukannya juga,” ujar Politisi PDIP asal Buleleng ini.
Menurut Kariyasa, sistem rujukan selama ini mempersulit masyarakat sehingga perlu dievaluasi dalam UU JKN. Hal lainnya menyangkut reward bagi pemerintah daerah yang sudah UHC dalam bentuk subsidi premi, dan hal lain dalam teknis pelayanan.
Jangan sampai kenaikan iuran justru memunculkan “suara-suara” untuk kembali ke Jamkesda yang lebih irit anggaran. “Masyarakat Bali dari segi pembayaran ini kan memang nurut. Tapi jangan diinjak. Tentu yang terpenting kualitas pelayanan. Mudah-mudahan nanti yang mandiri tidak banyak turun ke kelas III atau malah tidak ikut BPJS,” katanya.
Kalau banyak yang turun kelas, lanjut Kariyasa, tentu rumah sakit akan kelabakan. Sekarang saja, PBI yang ditanggung di kelas III sudah mencapai 54 persen.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bali, dr. Ketut Suarjaya mengatakan, kenaikan iuran memang paling memberatkan provinsi yang sudah UHC. Di Bali, provinsi saja harus mengalokasikan Rp 297 miliar dari sebelumnya Rp 170 miliar.
Jika dihitung dengan kabupaten/kota, kenaikannya menjadi hampir Rp 700 miliar dari sekarang Rp 495 miliar. Mengingat jumlah PBI daerah mencapai 1,5 juta lebih.
“Kenaikan luar biasa, sangat memberatkan. Kalau kita kembali pada total jumlah anggaran saja, berarti kan harus ada yang di-cut. Kita juga kesulitan yang mana mau di-cut,” ujarnya.
Namun demikian, lanjut Suarjaya, pihaknya sebagai pelaksana kembali pada kebijakan kepala daerah. Sembari menunggu kepastian kebijakan dari pusat.
Di sisi lain, rumah sakit juga harus mengantisipasi jika terjadi penurunan kelas dari peserta. Terutama rumah sakit yang hanya mengandalkan dari BPJS Kesehatan, tentu harus menghitung dan menyesuaikan. “Mau tidak mau kalau pasiennya lebih banyak kelas III, lebih banyak harus menyiapkan kelas III,” pungkasnya. (Rindra Devita/balipost)