Tradisi Mapeed digelar dalam peringatan Hari Puputan Margarana. (BP/Dokumen)

Oleh IGK Manila

Kita memperingati Puputan Margarana setiap 20 November. Selain ditulis dengan tinta emas dalam sejarah Indonesia, peristiwa pada 1946 tersebut dikisahkan turun-temurun sebagai salah satu teladan utama sikap satria dan kesatria dalam masyarakat Bali.

Bersama pasukan yang dikenal sebagai Ciung Wanara, I Gusti Ngurah Rai (1917-1946) memilih berperang habis-habisan atau puputan melawan pasukan Belanda di Desa Marga, Bali. Tujuan mereka adalah untuk melawan pendudukan Belanda, yang ingin menguasai Bali kembali setelah Jepang menyerah kalah dalam Perang Dunia ke-2.

Meskipun dibujuk rayu untuk berunding, bekerja sama atau mungkin membelot, jawaban terkenal Ngurah Rai sebagai pemimpin TKR (Tentara Keamanan Rakyat) di Bali sangat jelas dan tegas, “Soal perundingan kami serahkan kepada kebijaksanaan pemimpin-pemimpin kita di Jawa. Bali bukan tempatnya perundingan diplomasi. Dan saya bukan kompromis. Saya atas nama rakyat hanya mengingini lenyapnya Belanda dari Pulau Bali atau kami sanggup bertempur terus sampai cita-cita kita tercapai.”

Membaca rangkaian sejarah sebelum dan sesudah Puputan Margarana, pertama-tama harus saya katakan bahwa ini adalah tragedi kemanusiaan. Meskipun, tentu saja, dalam kacamata imperialisme-kolonialisme, upaya penguasaan Bali kembali oleh Belanda boleh jadi dilihat sebagai hal yang wajar, yakni sebagai “tuan” yang hendak menguasai kembali wilayah dan apa serta siapa saja yang berada di dalamnya.

Sebagai tragedi kemanusiaan, rangkaian perang yang brutal ini tak semestinya terjadi. Sebab, proses membangun keteraturan sosial atau “orde” di Bali, jika itu adalah alasan pihak Belanda, pada hakikatnya adalah hak masyarakat Bali. Setiap orang Bali pada masa itu berhak mengatakan bahwa “baik atau buruk, Bali adalah tanah air kami dan kamilah yang berhak mengurusnya”.

Baca juga:  Peringatan Hari Kelahiran Pancasila, Gianyar Steril dari Gangguan Radikalisme

I Gusti Ngurah Rai dan para pejuang Bali lainnya tak rela menerima orde semu, seperti apa yang telah diciptakan Belanda sebelum dikalahkan Jepang. Dalam orde tersebut, seperti halnya wilayah-wilayah lain di seluruh nusantara, raja dan kerajaan atau struktur pemerintahan pribumi adalah alat. Apa pun nama, gelar, jabatan atau istilahnya, mereka adalah kaki-tangan penjajah.

Para pejuang, oleh karena itu, adalah orang-orang yang berani berharap lebih. Kemerdekaan yang  ditawarkan Belanda bersifat terbatas. Mereka bercita-cita lebih dari sekadar hidup dalam sebuah negara boneka.

Visi mereka adalah untuk memperoleh kemerdekaan yang sebenarnya. “Bagaimana kita bisa hidup di tanah tumpah darah sendiri,” kira-kira demikian mereka bertanya, “namun menghamba pada orang asing yang memberi gaji yang diambil dari hasil memeras rakyat kita sendiri?”

Pilihan para pejuang untuk bergabung dalam Republik Indonesia, selanjutnya, adalah tindakan sadar. Sikap revolusioner adalah ekspresi kemanusiaan yang wajar dalam filsafat hidup masyarakat mana pun yang berdasar pada kemerdekaan. Dan sebagai sebuah pilihan sadar, konsekuensi atau risiko apa pun diterima sebagai hal yang wajar.

Apa yang dilakukan para pejuang yang memilih mati terhormat ini, oleh karena itu, juga menjadi tragedi karena mereka tak hanya berperang melawan pasukan Belanda. Mereka harus menghadapi bangsa sendiri yang tak berani berharap lebih, yakni mereka yang menerima iming-iming orde, kedudukan dan gaji yang ditawarkan Belanda.

Itulah sebabnya, rangkaian konflik sebelum dan sesudah peperangan yang dalam buku-buku sejarah resmi digambarkan sebagai perang melawan penjajah asing ini, pada dasarnya juga atau lebih banyak sebagai perang sesama satu bangsa, seperti dinyatakan Geoffrey Robinsondalam State, Society and Political Conflict in Bali, 1945-1946 (1988).

Baca juga:  Memelihara Nasionalisme di Tengah Krisis

Di satu sisi, ada raja-raja atau pemimpin lokal yang memilih berpihak pada Belanda karena mendambakan situasi sebelum pendudukan Jepang. Sementara di sisi lain, terdapat para pejuang revolusioner yang berharap pada satu tatanan sosial yang baru, yang lebih setara, adil, dan bermartabat.

Sebagai sebuah refleksi, kita belajar lebih jauh bahwa yang membuat para pejuang yang sebagian besar terdiri dari para pemuda ini berpikir berbeda, berani berharap dan bertindak revolusioner bagi suatu cita-cita kebangsaan adalah keterdidikan, informasi, serta forum-forum pertemuan dan organisasi. Secara tradisional, pikiran dan semangat tersebut terbentuk dan menguat di forum banjar, desa, subak, komunitas keagamaan, dan bahkan di tingkat kerajaan atau puri.

Bagi Belanda dan para sekutu atau simpatisan lokalnya, hal ini tentu dilihat dan dibahasakan berbeda. Pada zaman itu, kita baca, ada istilah “propaganda,” “ekstremis,” “teror,” kejahatan dan sebagainya. Pikiran-pikiran bagi kebangsaan, anti-kolonialisme, anti-imperialisme atau yang lebih khusus “anti-kolaborator” dinyatakan sebagai gagasan-gagasan menghasut dan merusak tatanan sosial.

Kita bisa membaca, sebagai contoh, sebuah laporan Sekretaris Kabinet Belanda, sebagaimana dikutip Robinson (1988). Dia menyatakan bahwa “Pulau yang dulunya begitu damai ini sekarang diacak-acak oleh teror para pemuda revolusioner, terutama di kerajaan Tabanan dan Badung, yang mengancam terjadinya dislokasi total sistem sosial Bali yang dulunya tertata dengan baik. Selama kejahatan ini tidak diberantas, administrasi pemerintahan yang normal di Bali tidak dapat diharapkan.”

Sebagai penutup, pada zaman kini, terutama bagi para pemuda dan pemudi Bali yang hendak belajar dari sejarah perjuangan bangsa ini, peperangan fisik pada dasarnya sudah menjadi masa lalu. Sebagai mantan prajurit, saya berpendapat bahwa peperangan saat ini terjadi dalam bentuk berbeda.

Baca juga:  Urbanisasi dan Beban Ibu Kota

Secara ekonomi kita bisa sebut “perang dagang” yang diwarnai “perang informasi.” Sedangkan dalam konteks kebangsaan, perang terberat adalah “perang ideologis” melawan radikalisme-terorisme.

Belajar dari teladan I Gusti Ngurah Rai dan para pahlawan Bali yang tak bisa disebut satu per satu, saripati perjuangan yang harus mengisi jiwa kita adalah keberanian untuk berbeda, berharap dan bertindak nasionalis. Perang dagang yang membuat ekonomi dunia saat ini karut-marut tak akan merusak ekonomi Bali dan Indonesia jika ketiga hal tersebut dipegang teguh.

Demikian juga, radikalisme-terorisme yang sempat meluluhlantakkan pariwisata Bali tak akan terulang lagi jika warga Bali berhasil membangun suatu kesamaan pikiran dan semangat, semacam common-ground, dan bertindak atas dasar itu. Secara sadar, setiap warga wajib mengelola konflik yang sehat, ketika konflik yang bisa berujung pada kekerasan harus secepatnya diselesaikan secara kekeluargaan.

Lembaga-lembaga tradisional banjar, desa, subak dan komunitas keagamaan tradisional –yang ketika psds zaman revolusi kemerdekaan berperan besar dalam mengalirkan informasi dan menggalang persatuan –wajib dikelola dengan baik dan tentu saja disesuaikan dengan situasi dan kondisi kekinian.

Dengan cara ini, dalam pikiran saya, peringatan Puputan Margarana lebih bermakna dan memberi manfaat. Upacara dan seremoni adalah satu hal, ketika menjadikan teladan perjuangan para pahlawan sebagai dasar laku hidup adalah perkara yang lebih utama.

Penulis, Gubernur Akademi Bela Negara (ABN) Partai NasDem

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *