Ilustrasi. (BP/dok)

Oleh Made Satria Pramanda Putra

Berbicara tentang Nilai Jual Objek Pajak atau lebih familier dikenal dengan istilah NJOP tentu bukanlah hal yang asing lagi di tengah masyarakat saat ini. Dalam kehidupan sehari-hari, NJOP acapkali digunakan sebagai acuan oleh beberapa pihak berkepentingan.

Misalnya, penentuan ganti rugi lahan, penilaian agunan oleh lembaga perbankan, dan tentunya oleh otoritas pajak. Sebagai dasar pengenaan pajak, paling tidak terdapat dua jenis pajak yang menggunakan NJOP dalam perhitungannya, yaitu Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).

NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar. Bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, nilai perolehan baru, atau pengganti. Oleh masing-masing Kepala Daerah besaran NJOP ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun. Pengecualian untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayah masing-masing.

Penentuan besarnya NJOP atas tanah dan/atau bangunan dilakukan melalui suatu proses yang disebut dengan proses penilaian. Penilaian dilakukan untuk mengestimasi nilai tanah dan/atau bangunan. Nilai yang dihasilkan dalam proses penilaian selanjutnya dilakukan konversi ke dalam klasifikasi tanah atau bangunan. Hasil konversi tersebut menjadi klasifikasi tanah atau bangunan untuk kemudian ditentukan besarnya NJOP per meter persegi.

Secara garis besar, penetapan NJOP dapat dilakukan dengan tiga pendekatan. Pertama dengan membandingkan objek pajak lain yang sejenis, yang letaknya berdekatan dan memiliki fungsi yang sama serta telah diketahui harga jualnya. Kedua, dilakukan dengan menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh objek tersebut pada saat penilaian dilakukan, kemudian dikurangi dengan penyusutan berdasarkan kondisi fisik objek tersebut. Ketiga, penentuan yang berdasarkan pada hasil produksi objek pajak tersebut.

Baca juga:  Belasan Ribu Warga Karangasem Tak Bayar Pajak Kendaraan

Sebagaiamana diuraikan di awal, PBB P-2 dan BPHTB adalah contoh jenis pajak daerah yang menggunakan NJOP sebagai dasar pengenaan pajak. Dari perspektif otoritas pemungut, kedua jenis pajak tersebut saat ini merupakan kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten dan/atau Kota, yang dalam pengenaannya berpedoman pada Undang-undang No. 28 tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah (UU PDRD).

Mekanisme perhitungan yang berlaku umum untuk memperoleh besaran pajak yang terutang adalah dengan melakukan perkalian antara Dasar Pengenaan Pajak (DPP) dan tarif pajak. Dari mekanisme perhitungan tersebut dapat diketahui bahwa hubungan NJOP sebagai dasar pengenaan pajak dengan jumlah pajak terutang akan berlaku linier.

Artinya, semakin tinggi NJOP maka akan menghasilkan nilai pajak terutang yang semakin tinggi, begitu juga berlaku sebaliknya. Meskipun terlihat sederhana, ternyata dalam implementasi tidak jarang timbul berbagai persoalan dalam proses pemungutan. Salah satunya adalah ketika besaran NJOP oleh beberapa pihak dirasa belum mampu mencerminkan nilai yang wajar.

Baca juga:  Kenaikan Pajak Spa Justru Turunkan Daya Saing Bali 

Penetapan NJOP secara wajar dihasilkan dari proses penilaian yang dilakukan secara objektif. Objektivitas dalam proses penilaian telah diatur dengan berbagai petunjuk teknis, koridor dan batasan-batasan untuk menghasilkan NJOP secara wajar. Data yang diperoleh mampu mencerminkan harga pasar wajar tanah dan/atau bangunan di lokasi penilaian pada tahun dilakukan penilaian.

Mengingat dampaknya yang masif serta keadaan ekonomi yang dinamis, diperlukan profesionalisme otoritas penilaian serta pemutakhiran secara berkala. Apabila NJOP dinilai jauh lebih rendah dari nilai wajar, maka dapat berdampak pada tidak optimalnya pendapatan daerah. Begitu juga sebaliknya, ketika terjadi estimasi yang berlebih, wajib pajak akan memikul beban pajak yang lebih tinggi.

Mengerucut pada konteks BPHTB, pengenaan BPHTB pada awalnya tidak serta merta menggunakan NJOP, melainkan berdasarkan pada Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP). Besaran NPOP sendiri tergantung pada jenis transaksi yang terjadi saat perolehan hak. Sebagai contoh, perolehan hak akibat suatu transaksi jual beli maka yang digunakan adalah harga transaksi. Sedangkan untuk perolehan hak akibat tukar-menukar, waris, hibah menggunakan nilai pasar.

Persoalan lain yang mungkin terjadi adalah ketika NPOP tidak diketahui atau atau lebih rendah daripada NJOP. Pasal 87 ayat (3) UU PDRB dengan tegas menyebutkan apabila NPOP tidak diketahui atau nilainya lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan PBB pada tahun terjadinya perolehan, maka dasar pengenaan yang dipakai untuk menghitung BPHTB adalah NJOP PBB.

Baca juga:  Pengusaha UMKM Bali Kumpul-Kumpul di Bank Lestari Bali (BPR) Sanur, Ada Apa?

Padahal, fakta di lapangan menunjukkan kemungkinan terjadi transaksi jual beli tanah dan/atau bangunan berujung pada kesepakatan harga transaksi yang jauh di bawah NJOP. Dampaknya atas transaksi tersebut, besaran perhitungan BPHTB yang harus dilunasi menggunakan dasar NJOP.

Regulasi yang mengatur penggunanaan nilai mana yang lebih tinggi antara NJOP dan harga transaksi dalam kasus tersebut sebenarnya dapat dimaknai sebagai langkah pemerintah untuk memberikan kepastian sekaligus meminimalisasi praktik kecurangan. Utamanya kecurangan oleh oknum yang ingin melakukan penghindaran kewajiban perpajakan dengan melakukan pengakuan di bawah harga transaksi yang sebenarnya. Akan tetapi, irisan wajib pajak yang memang secara nyata melakukan transaksi di bawah NJOP tentu tidak serta merta dapat dikesampingkan.

Berangkat dari berbagai persoalan yang mungkin terjadi, sudah saatnya, para pihak berkepentingan untuk duduk bersama merumuskan langkah-langkah strategis. Penilaian dan penetapan objek secara profesional serta pemutakhiran yang dilakukan secara berkala berbasis teknologi diperlukan untuk memperoleh NJOP secara wajar.

Hal tersebut didukung dengan kesadaran wajib pajak secara sukarela untuk melaporkan transaksi sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Sinergitas antara para pihak dalam menjawab berbagai tantangan yang muncul diharapkan mampu melahirkan solusi-solusi terbaik guna memenuhi rasa keadilan tanpa menghilangkan manfaatnya.

Penulis, Tax Specialist SM Tax Centre

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *