Tahun 2020 kembali digelar Pilkada serentak. Di Bali ada empat daerah yang melaksanakan perhelatan tersebut. Seperti halnya nuansa pemilihan umum, hajatan pesta demokrasi lima tahunan ini telah diawali dengan pemanasan.
Di Bali diyakini akan berlangsung sukses, sama seperti pemilu lainnya. Beda dengan di luar daerah. Pilkada sering diiringi kecemasan akan terjadi keributan. Seharusnya kecemasan tersebut tidak semestinya terjadi, apabila semua komponen memahami esensi Pilkada itu sendiri.
Kekhawatiran dan kecemasan seharusnya lebih diarahkan pada pemimpin yang akan dihasilkan nanti. Untuk menghasilkan pemimpin sesuai harapan, tentu sangatlah bergantung dari proses pilkada. Proses itu berupa tahapan demi tahapan dalam pilkada tersebut.
Demikian pula keberhasilan memilih pemimpin yang mumpuni juga sangat bergantung pada komitmen partai politik untuk mengajukan calon yang berbobot. Kalau tidak, Pilkada akan melahirkan pemimpin yang kurang diminati masyarakat dan mereka terpaksa memilih karena tak ada pilihan lain.
Dalam berbagai tahapan pilkada ini, boleh saja ada keriuhan. Namun jangan sampai keriuhan berlanjut ke kegaduhan yang berujung kericuhan, apalagi anarkis. Semua perbedaan, perdebatan haruslah sedapat mungkin diselesaikan dengan cara musyawarah mufakat.
Jika musyawarah mufakat ini mentok, barulah dilanjutkan ke jalur hukum. Meski berdasarkan pengalaman, musyawarah mufakat terutama dalam kaitan pilkada lebih sering terjerumus ke lembah kesepakatan untuk bagi-bagi kekuasaan.
Untuk mencegah dan menghindari jangan sampai hal ini terjadi, masyarakat pemilih haruslah menjaga pilkada yang diselenggarakan dan output pemimpin yang dihasilkan benar-benar berintegritas. Hal ini tentu saja harus diawali dari pemilih sendiri yang harus benar-benar punya integritas. Hal ini erat sekali kaitannya dengan moralitas.
Jika pemilih mempunyai integritas dan moralitas tinggi, maka tidak akan mudah untuk terjebak dalam money politics yang kerap mewarnai hajatan politik pemilu maupun pilkada. Dengan begitu, celah pemimpin yang suka melakukan money politics akan tertutup untuk bisa memenangkan pilkada. Dari situ akan lahir seorang pemimpin yang berintegritas.
Untuk melahirkan pemilih berintegritas di tengah sikap pragmatis sebagian besar masyarakat, memang sulit. Di sinilah peran penyelenggara pemilu dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mengedukasi calon pemilih untuk mengarahkan mereka menjadi pemilih berintegritas.
Calon pemilih harus diarahkan memilih calon pemimpin yang mengedepankan program ketimbang hegemoni popularitas, apalagi janji-janji politik yang begitu gampang dilupakan begitu mereka meraih kemenangan.
Jika calon pemilih sudah berintegritas, penyelenggaraan juga sudah berintegritas, maka akan lahir pemimpin yang berintegritas.
Jika sudah memiliki legitimasi dengan integritas dan moralitas yang dimiliki, para pemimpin yang telah dilahirkan dari pilkada berintegritas ini haruslah terus dikawal, dijaga, diarahkan dan diberdayakan untuk menghasilkan produk-produk yang berintegritas pula. Baik itu produk pembangunan maupun produk hukum, sehingga pemilu maupun pilkada yang telah menghabiskan dana miliaran rupiah ini tidak menjadi sia-sia.
Apalagi, hanya menghasilkan kegaduhan dan kericuhan anarkis yang memunculkan perpecahan, sehingga menjauhkan kita dari NKRI sebagai salah satu pilar kebangsaan. Mari menjaga integritas pemilu maupun pilkada dengan menjadi pemilih yang berintegritas, peyelenggara pilkada yang berintegritas, juga pemimpin berintegritas dan memiliki legitimasi.