jatah
Hamparan areal persawahan. (BP/Dok)

Jika berbicara soal pengembangan sektor pertanian kita patut belajar ke negeri Tiongkok dan Thailand. Bahkan kini, negara Vietnam dikenal banyak memiliki program pro-pertanian.

Kelihatannya sepele jika menggarap sektor pertanian padahal semua hajat hidup orang banyak tergantung pada sektor pertanian. Dalam bahasa lain bisa dikatakan jika sebuah keluarga tak memadai penghasilan untuk memenuhi keperluan pokok dipastikan keluarga tersebut belum mapan alias goyah. Demikian juga dalam sebuah negara jika sektor pertaniannya tak mencukupi untuk keperluan rakyat sendiri, apalagi ekspor bisa dikatakan termasuk negara lemah.

Tiongkok dikenal sebagai negara yang sukses menerapkan pertanian massal. Termasuk melahirkan regenerasi petaninya. Kita di Bali bagaimana? Ternyata kita hanya terlena dengan kemajuan pariwisata. Bahayanya, jika sektor ini tumbang, maka bangkrutlah ketahanan pangan Bali.

Kedua, wacana pemerintah menjadikan pertanian sebagai panglimanya pembangunan hanya omong kosong. Belum pernah kita lihat dan dengar pejabat menyerahkan bantuan pupuk atau asuransi bagi petani pada zaman krisis air dan ekonomi. Jarang ada pejabat yang menjamin pemasaran produk petani Bali ke mana saja.

Baca juga:  Pertanian sebagai Basis Sekaligus Muara Pembangunan

Ada Pergub soal Perlindungan Pertanian Bali, lagi-lagi hanya wacana atau orang Bali menyebutnya anak mara satua. Tak ada pejabat yang berani membusungkan dada bahwa APBD-nya terbesar untuk kemajuan sektor pertanian. Paling-paling pamer menyerahkan sumbangan untuk bansos dan sisihan PHR kepada kabupaten lain.

Jika kondisi ini terus begini, upaya kita menjadikan pertanian sebagai muara pembangunan di Bali tetap saja omong kosong. Ini akan berimbas pada minat generasi milenial menekuni sektor pertanian. Maka jangan salahkan kalau jumlah petami kita makin menyusut sesuai dengan deretan ilmu ukur makin menyusutnya lahan pertanian Bali akibat alih fungsi menjadi permukiman dan kawasan wisata.

Baca juga:  Memandirikan Ekonomi Bali

Thailand juga patut dijadikan contoh dalam mengelola pertanian dan meregenerasi petaninya. Caranya, mereka dihadapkan pada masa depan yang menjanjikan menjadi petani.

Lihat saja di China (Tiongkok). Semuanya berawal dari tantangan negara tersebut untuk menghidupi dua miliar penduduknya. Mau tak mau rakyatnya diajak bekerja keras dan bekerja keras. Caranya menghasilkan berbagai produk yang bisa dimakan manusia.

Maka jadilah rakyat Tiongkok membudidayakan berbagai jenis makanan yang bisa dimakan untuk mengonsumsi  sendiri terlebih dahulu baru untuk kepentingan ekspor. Makanya jangan heran penduduk Tiongkok sampai saat ini masih memakan batang pohon teratai sebagai sayur. Mereka kreatif karena tantangan. Belum lagi blauk, capung, dll masih dijadikan sumber protein.

Gebrakan kedua yang harus dilakukan negara kita yakni melakukan industrialisasi pertanian. Artinya, pemerintah mendorong muculnya teknologi pertanian dengan garapan yang luas serta pemerintah menjamin kerugian akibat gagal panen. Mestinya jika ada rakya menjual lahan pertaniannya, pemerintah yang berani membeli sehingga jelas peruntukkannya berkelanjutan untuk pertanian.

Baca juga:  Mengelola Informasi dengan Logika dan Kesadaran

Adanya perencanaan produksi ini sangat penting mengingat Provinsi Bali memiliki potensi yang sangat besar untuk dapat menghasilkan berbagai produk hortikultura seperti buah dan sayuran. Ketersediaan bibit unggul perlu dibarengi oleh good agricultural practices di dalam pengelolaan usaha tani tanaman buah lokal.

Terus terang, kebijakan sektor pertanian di negara kita serba njelimet. Jangankan soal kesejahteraan petani, soal pupuk bersubsidi saja kita kacau balau. Harga murah pupuk mestinya dinikmati petani, ternyata tidak. Pengepul yang bermain dan petani selalu menjadi korban. Ayo mana nasionalisme kita?

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *