BNI
Ilustrasi. (BP/dok)

DENPASAR, BALIPOST.com – Di tengah perlambatan ekonomi global dan domestik, kinerja perbankan di Bali hingga September 2019 masih tumbuh positif. Tercermin dari total aset perbankan yang tercatat sebesar Rp 149,9 triliun atau mengalami pertumbuhan sebesar 8,24 persen (yoy), lebih tinggi dari pertumbuhan total aset perbankan nasional sebesar 7,07 persen.

Data OJK memperlihatkan Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan di Bali terhimpun mencapai sebesar Rp 114,62 triliun, tumbuh sebesar 8,95 persen (yoy), masih lebih tinggi dari pertumbuhan DPK perbankan secara nasional 7,42 persen (yoy) dan meningkat dari periode sebelumnya yang tumbuh 8,63 persen (yoy).

Adapun penyaluran kredit perbankan di Bali tercatat sebesar Rp 91,75 triliun atau tumbuh sebesar 8,90 persen (yoy), lebih tinggi dari pertumbuhan penyaluran kredit nasional (7,88 persen) dan meningkat dari periode sebelumnya yang tumbuh sebesar 3,54 persen (yoy).

Sementara itu, Direktur Pengawasan Lembaga Jasa Keuangan Rochman Pamungkas menyebut kinerja keuangan BPR/S di Provinsi Bali juga masih menunjukkan pertumbuhan yang positif dan meningkat dari periode sebelumnya. Total aset BPR/S mencapai Rp 16,87 triliun, tumbuh 12,47 persen (yoy), meningkat dari periode sebelumnya yang tumbuh 8,27 persen dan lebih tinggi dari BPR secara nasional yang tumbuh 10,24 persen (yoy).

Baca juga:  Wapres Kunjungi Bali, Kodam Gelar Apel Pengamanan

Sementara itu, penghimpunan DPK sebesar Rp 12,29 triliun tumbuh 17,80 persen (yoy), tercatat lebih tinggi dari pertumbuhan DPK BPR secara nasional yang tumbuh 11,63 persen (yoy). Komposisi DPK BPR di Bali didominasi oleh deposito sebesar Rp 9,08 triliun mencapai 73,87 persen dari total DPK. Sementara itu, penyaluran kredit oleh BPR di Bali tercatat sebesar Rp 11,16 triliun 10,28 persen (yoy), meningkat dari periode sebelumnya yang tumbuh 6,66 persen.

Penyaluran kredit paling banyak untuk membiayai sektor perdagangan besar dan eceran yaitu sebesar Rp 3,2 triliun atau 28,72 persen dari total kredit dan real estate sebesar Rp 1,4 triliun atau 12,6 persen dari total kredit. Secara komposisi, penyaluran kredit BPR di Bali didominasi oleh kredit produktif yaitu sebesar 62,76 persen sebesar Rp7 triliun, yang terdiri dari Kredit Modal Kerja sebesar Rp 5,3 triliun dan kredit investasi sebesar Rp 1,7 triliun.

Rasio NPL BPR di Bali sebesar 8,28% di bulan September 2019. Kontribusi terbesar NPL BPR saat ini berasal dari sektor perdagangan besar dan eceran yaitu sebesar Rp 374 miliar dengan share NPL 40,46 persen dari total kredit non performing, sektor bukan lapangan usaha lainnya sebesar Rp 245 miliar dengan share NPL 26,5 persen dari total kredit non performing, dan sektor real estate sebesar Rp 77 miliar atau 8,35 persen dari total kredit non performing yang mempengaruhi rentabilitas dan efisiensi BPR selama setahun terakhir. Tercermin dari Return on Assets (ROA) menurun dari 2,17 persen menjadi 1,75 persen dan rasio BOPO meningkat dari 79,94 persen menjadi 82,94 persen. Sedangkan pertumbuhan DPK yang lebih tinggi dibandingkan penyaluran kredit mengakibatkan rasio LDR posisi September 2019 masih cukup tinggi yaitu mencapai 71,19 persen.

Baca juga:  Jumlah Koperasi Tak Perlu Banyak, Tapi Berkualitas

Berdasarkan pengawasan OJK Regional 8 Bali dan Nusa Tenggara selama tahun 2019, terdapat 5 permasalahan utama BPR yang perlu menjadi perhatian yaitu, permodalan (lack of capital). Terdapat beberapa BPR yang belum memenuhi ketentuan jumlah modal inti minimal. Keterbatasan modal ini akan berdampak pada beberapa hal antara lain keterbatasan dalam melakukan ekspansi bisnis, pengelolaan SDM dan penyediaan infrastruktur IT yang tidak optimal. Sehingga berdampak pada melemahnya daya saing BPR dengan lembaga jasa keuangan lain.

Kurang optimalnya penerapan Tata Kelola BPR. Masih ditemukan BPR yang mengalami kekurangan jumlah pengurus baik Direksi atau Dewan Komisaris atau pejabat Eksekutif.

Ketidakcukupan struktur dan kapasitas manajemen tentu mengurangi kualitas pelaksanaan fungsi perencanaan, pengarahan, pengawasan internal bank, sehingga pada akhirnya dapat menyebabkan penurunan kinerja bank. Peningkatan pada risiko kredit tercermin dari peningkatan rasio NPL per interval disebabkan oleh belum optimalnya kualitas SDM di bagian perkreditan dalam menyalurkan kredit, terutama di sektor properti dan turunannya, upaya penyelesaian kredit bermasalah melalui penjualan agunan (berupa tanah dan/atau bangunan) yang memerlukan waktu yang lama, lemahnya awareness SDM terhadap internal kontrol yang menyebabkan munculnya pelanggaran atau penyimpangan ketentuan dalam penyaluran kredit.

Baca juga:  Ditanya Ketersediaan GeNose di Bali, Ini Kata Kadiskes

Kehandalan sistem teknologi informasi. Dalam menghadapi era revolusi industri 4.0 ini, industri perbankan dituntut memiliki kemampuan beradaptasi secara cepat dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitasnya.Untuk menjawab tantangan tersebut, OJK telah menerbitkan POJK No.75/POJK.03/2016 dan SE No.15/SEOJK. 03/2017 tentang Standar Penyelenggaraan Teknologi Informasi BPR dan BPRS.

Produk dan layanan BPR yang terbatas. Dalam upaya mendorong variasi produk dan layanan BPR, OJK telah menerbitkan POJK No. 12/POJK.03/2016 tentang Kegiatan Usaha dan Wilayah BPR.

Permasalahan dan tantangan yang ada, harus mampu dikelola oleh Dewan Komisaris dan Direksi BPR/S dengan senantiasa melaksanakan peran dan fungsinya untuk melayani kebutuhan jasa perbankan serta memberikan dukungan kepada upaya pemberdayaan kekuatan ekonomi lokal, mengingat saat ini persaingan di segmen kredit mikro, kecil dan menengah (UMKM) sangat ketat. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *