Ilustrasi. (BP/dok)

Oleh I Komang Divo Mahayakti Heriadi

Gelombang pro-kontra dalam setiap pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) di DPR-RI merupakan hal yang wajar. Di pengujung bulan September lalu, bangsa ini dihadapkan gerakan penolakan beberapa RUU yang direncanakan segera disahkan oleh DPR. Salah satunya yaitu RUU Pertanahan. Perbincangan hangat soal RUU Pertanahan selalu mendapatkan porsi tersendiri di berbagai kalangan masyarakat.

Pengaturan bidang pertanahan secara umum telah diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA). Namun secara garis besar, terdapat alasan-alasan yang menjadi pertimbangan dalam penyusunan Rancangan Undang-undang Pertanahan ini, yaitu ada beberapa ketentuan tentang tanah yang belum lengkap diatur dalam UUPA.

Demikian pula, UUPA dalam perjalanan panjangnya banyak sekali dinamika perkembangan kebutuhan masyarakat di bidang pertanahan yang perlu diatur guna memberikan kepastian hukumnya. Berdasarkan hal tersebut di atas, adalah suatu keniscayaan perlu disusunnya Rancangan Undang-undang tentang Pertanahan ini dalam rangka melengkapi dan menjabarkan pengaturan bidang pertanahan, mempertegas penafsiran, dan menjadi brigding (jembatan) untuk meminimalkan ketidaksinkronan antara UUPA dengan peraturan perundang-undangan sumber daya alam terkait bidang pertanahan.

Domein Verklaring

Salah satu pasal yang menjadi sorotan tertuju pada Pasal 38 RUU Pertanahan yang mengatur tentang jangka waktu hak atas tanah. Di sana dijelaskan bahwa permohonan perpanjangan berupa Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai diajukan paling lama lima tahun sebelum jangka waktu hak atas tanahnya berakhir. Dengan alur pasal tersebut, sebagian pihak berasumsi jika pasal tersebut dipadankan dengan pola Domein Verklaring zaman kolonial tempo dulu.

Baca juga:  Transformasi Parpol Dalam Pemilu 2024

Bahwa ketika suatu tanah tidak bisa dibuktikan siapa pemiliknya, otomatis negara memilikinya. Kritik terhadap pasal tersebut seharusnya dicermati dan dipahami secara komprehensif. Isu membangkitkan kembali asas Domein Verklaring yang dimaksud sepertinya agak keliru. Lebih lanjut, Pasal 38 ayat (4) RUU Pertanahan menjelaskan bahwa apabila dalam hal jangka waktu perpanjangan hak atas tanah telah berakhir, status tanah kembali menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara.

Jika kita cermati konsep UUPA, maka pengertian ‘’dikuasai’’ oleh negara dalam hal ini bukan berarti ‘’dimiliki’’, melainkan hak yang memberi wewenang kepada negara untuk mengatur (E. Utrecht; 1986). Dengan jalan pikiran demikian, jelaslah tidak ada tempat lagi untuk teori-domein, seperti dikenal dalam susunan hukum agraria sediakala karena asas Domein Verklaring telah dilepaskan dan menyesatkan.

Isi wewenang negara yang bersumber pada hak menguasai sumber daya alam oleh negara tersebut semata-mata bersifat publik atau wewenang untuk mengatur/wewenang regulasi dan bukan wewenang untuk menguasai tanah secara fisik dan menggunakan tanahnya sebagaimana wewenang pemegang hak atas tanah yang bersifat pribadi.

Pasal kontroversial lain yang mendapat penolakan dari berbagai kalangan adalah soal informasi pemilik hak atas tanah yang dirahasiakan kepada publik. Hal ini terdapat dalam Pasal 47 ayat (8) RUU Pertanahan bahwa informasi publik mengenai data pertanahan yang dikecualikan antara lain: a. Daftar nama pemilik hak atas tanah; b. Buku tanah, surat ukur dan warkah. Terkait hal tersebut, Forest Watch Indonesia (FWI) pernah menggugat Kementerian Agraria dan Tata Ruang untuk membuka data HGU di Kalimantan.

Baca juga:  Kenormalan Baru, Kebablasan dan Seleksi Alam

Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung nomor: 121/K/TUN/2017, majelis hakim berpendapat bahwa HGU tidak termasuk informasi yang dikecualikan untuk dapat diberikan kepada publik. HGU bukan data pribadi karena merupakan hak mengusahakan tanah yang penguasaannya ada pada negara. Oleh karena itu, data HGU harus tersedia dan bisa diakses oleh publik sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. HGU harus dibuka kepada publik agar masyarakat dapat melakukan pengawasan dan monitoring terhadap izin-izin pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam.

Pengadilan Pertanahan

Dalam lima tahun terakhir, pemerintah fokus dalam pembangunan infrastruktur dan industri untuk mengejar pertumbuhan ekonomi secara legal. Namun, agenda tersebut kerap dilakukan dengan jalan mengambil tanah rakyat demi kepentingan umum, sehingga bakal memicu sengketa dan konflik sosial berkepanjangan. Dari sekian kali pergantian rezim, konflik pertanahan masih terjadi hingga saat ini.

Kecurigaan adanya agenda kriminalisasi terhadap aktivis agraria seolah tak luput dari alasan penolakan RUU Pertanahan. Dalam RUU Pertanahan diatur ketentuan pidana bahwa setiap orang baik sendiri maupun bersama-sama yang melakukan dan/atau membantu melakukan permufakatan jahat yang mengakibatkan sengketa atau konflik pertanahan dipidana dengan pidana penjara.

Baca juga:  Politik Bahasa Gubernur Koster

Pencantuman klausul ‘’permufakatan jahat’’ disinyalir sangat rentan mengkriminalisasi para pihak dan khususnya kalangan aktivis yang rutin melakukan pendampingan para warga yang terancam hak atas tanahnya digusur.

Mencermati volume sengketa dan eskalasi konflik pertanahan yang semakin besar dan kompleks serta desakan dari berbagai pihak, maka pemerintah berencana membentuk pengadilan pertanahan yang telah dituangkan dalam RUU Pertanahan. Pada masa orde lama, pernah ada pengadilan khusus Land Reform yang secara khusus mengadili sengketa di bidang agraria.

Namun, sejak dihapusnya Pengadilan Land Reform di tahun 1970, maka perkara sengketa pertanahan dikembalikan ke Pengadilan Negeri. Namun, rencana pembentukan Pengadilan Pertanahan pada RUU Pertanahan ini nantinya diharapkan untuk menghindari putusan yang menyimpang dalam setiap kasus sengketa tanah supaya tidak berlarut-larut, cepat dan murah.

Masalah tentang pertanahan di negara kita adalah merupakan suatu persoalan yang cukup rumit dan sensitif, karena berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan, baik yang bersifat sosial ekonomis, budaya, hokum, dan politik. Dengan ditundanya pengesahan RUU Pertanahan, seyogianya menjadi bahan evaluasi bagi para pemangku kepentingan untuk tidak hanya menempuh pendekatan sepihak saja, melainkan harus melalui pendekatan secara terpadu guna melahirkan suatu produk RUU Pertanahan yang bermanfaat untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Penulis, alumni Magister Kenotariatan Universitas Udayana

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *