Ilustrasi. (BP/dok)

Perhelatan politik besar Pemilu 2019 sudah usai. Kita sudah tahu bagaimana hasil dari pemilu. Juga sudah mengetahui realitas politik pasca-pemilu dan kemudian politik kontemporer. Yang dimaksudkan realitas politik pasca-pemilu adalah seperti hasil dari pemilu dan kemudian kerusuhan-kerusuhan yang terjadi akibat ketidakpuasan mereka yang merasa kalah.

Politik kontemporer yang dimaksudkan adalah fenomena politik saat ini. Kita lihat Prabowo Subianto yang begitu frontal berhadapan dengan Joko Widodo pada pemilihan presiden, kini sudah bergabung dengan kabinet yang dibentuk oleh Joko Widodo. Kemudian, ada politik yang memasukkan milenial ke dalam jajaran istana.

Ingin adanya percepatan dalam pembangunan, terobosan, inovasi dan sebagainya. Juga kita lihat berbagai upaya untuk memajukan pendidikan kita. Ada upaya untuk mengubah cara dan metode pendidikan kita.

Baca juga:  Serukan Persatuan Bangsa, Pesan Perdamaian Disuarakan lewat Musik dan Puisi

Cukup mendebarkan juga yang kita lihat perkembangan ini. Mendebarkan karena kita belum pernah melihat upaya seperti itu. Katakanlah misalnya, pelajaran bahasa Inggris yang sudah ‘’selesai’’ di tingkat Sekolah Dasar. Akan tetapi, biarkanlah kita tunggu saja bagaimana perjalanan itu kelak.

Sampai tahun ini, ternyata ganti menteri ganti kebijakan terus saja berlangsung di Indonesia. Padahal, ujaran seperti ini telah muncul sejak empat dekade yang lalu, di awal pemerintahan Orde Baru.

Maka ketika ada komentar dan keberatan terhadap penunjukan Ahok sebagai Komisaris Utama Pertamina, ada semacam kekhawatiran. Mengapa persoalan seperti ini muncul lagi. Kita tahu bahwa mantan Gubernur Jakarta tersebut pernah berada di pusaran konflik politik.

Ada yang menyebutkan kalaupun dia menjadi korban politik juga yang kemudian membuatnya menjadi terhukum. Politik selalu menjadi subjek dalam persaingan dan kemudian menjadi momok bagi para pemainnya. Tetapi manakala para pemainnya berani untuk menghadapi, barangkali mereka sudah matang.

Baca juga:  Penguatan Koperasi

Politik memang mengarah menuju segala arah. Tetapi seharusnya dapat berlaku etis pula dalam menghadapi lawan. Jika kemudian mengungkit-ungkit masa lalu untuk kembali menjatuhkan pihak lain, bisa jadi tidak akan berhasil. Ketidakberhasilan inilah yang dapat menjadi bumerang bagi politisi yang bersangkutan.

Ada pelajaran penting yang diperlihatkan pembentukan kabinet Joko Widodo saat ini, yaitu adanya kesepahaman. Artinya, politik itu pun memperlihatkan sisi humanisnya, yaitu kompromis. Ini kita lihat dengan kehadiran Prabowo Subianto masuk ke dalam jajaran kabinet. Sebelumnya tidak ada yang menduga jika kompetitor Joko Widodo pada pemilihan presiden yang lalu akan bersedia masuk ke dalam kursi kabinet. Kenyataannya, seperti yang sudah kita ketahui bersama, Prabowo Subianto menduduki posisi sebagai Menteri Pertahanan.

Baca juga:  Ekonomi Sektor Kecil di Bali Perlu Didorong

Itu merupakan bagian kompromis bagi politik di Indonesia. Jika saja elite telah melakukan hal itu, mengapa elite-elite lain tidak bersedia melakukan hal yang sama. Mengkritisi Ahok memang penting. Tetapi janganlah itu kemudian mengusik masa lalu yang telah berhasil dilaluinya.

Indonesia memerlukan suasana yang teduh sekarang untuk menghadapi masa depan yang penuh dengan tantangan. Bukan saja tantangan pada bidang kemajuan teknologi seperti yang sering disebutkan, tetapi juga stabilitas sosial yang memang dibutuhkan. Serangan teroris berulang itu menandakan bahwa stabilitas kita rapuh. Untuk itulah, kita sebaiknya tidak mengungkit lagi peristiwa yang sudah lewat.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *