Ilustrasi. (BP/ist)

Dikotomi mata pelajaran eksakta dan sosial harus diakui sudah terjadi sejak turun-temurun dan masih berlangsung hingga sekarang. Padahal, keduanya bersumber dari penjabaran pengetahuan tentang fungsi otak kanan dan kiri manusia. Dan ketika berbicara mengenai fungsi otak kanan dan otak kiri ini pun harus diakui ranahnya pengetahuan eksakta.

Dari sini pun sudah kelihatan dominasi pengetahuan eksakta dari ilmu sosial. Tetapi bila dikembalikan bahwa Tuhan menciptakan otak kiri dan otak kanan untuk menjaga keseimbangan pemikiran manusia, maka kedua pengetahuan ini pastilah sama pentingnya. Sama pentingnya dengan keberadaan dan fungsi dari otak kanan dan otak kiri manusia.

Seperti halnya otak kanan dan otak kiri, keseimbangan dalam hidup sudah diatur sedemikian rupa bagi manusia sebagai makhluk sosial. Keseimbangan dalam menjalani hidup sesuai fakta yang ada diimbangi dengan khayalan atau harapan akan masa depan.

Baca juga:  Digitalisasi, Tantangan Merawat Ruang Sosial

Keseimbangan antara kebutuhan fisik material dengan kebutuhan mental spiritual sebagai makhluk sosial yang sudah pasti memerlukan bantuan orang lain. Tidaklah mungkin mewujudkan kecerdasan super tanpa dukungan kemampuan seni inovasi dan kreativitas.

Sebuah ide cemerlang genius hanya baru terwujud bila ada pengakuan dari lingkungan sosial di sekelilingnya. Karena terbukti, orang sukses tidak hanya berasal dari lulusan eksakta semata. Banyak orang sukses berlatar belakang dari pengetahuan/ilmu sosial.

Kecerdasan eksakta haruslah diimbangi dengan moral dan etika yang tinggi pula. Tanpa keseimbangan itu, kecerdasan tinggi cenderung menjerumuskan orang untuk melakukan perbuatan yang tidak sesuai atau bertentangan dengan moral dan etika. Misalnya, seseorang ahli fisika mungkin saja mempunyai kemampuan dan kecerdasan untuk membuat bom nuklir dan sejenisnya.

Jika kecerdasan dan kemampuannya itu tidak diimbangi dengan moral dan etika yang tinggi, bisa jadi dia akan menggunakan kecerdasannya itu untuk melakukan percobaan seenaknya tanpa memikirkan dampak atau korban dari percobaannya itu. Di situlah peran lmu sosial mengimbangi dominasi ilmu eksakta.

Baca juga:  Mengawal Pilihan Politik Publik

Di dunia pendidikan, keseimbangan ini benar-benar mendapat perhatian serius. Karena itu pula, dalam tiap kali penyusunan kurikulum kedua bidang ilmu tersebut diupayakan mendapatkan porsi seimbang. Ketika masyarakat termasuk kalangan pendidik lebih mengagungkan dan mengejar ilmu eksakta, maka moral dan etika juga harus diberi porsi yang sama.

Jika tidak, dunia pendidikan kita hanya akan mencetak manusia-manusia (SDM) cerdas tetapi tidak memiliki moral dan etika, tidak memiliki akhlak dan martabat. Itu sama saja kita mencetak robot-robot pintar yang tidak punya hati nurani sama sekali.

SDM yang lahir tidak lebih akan menjadi sosok makhluk yang dinamakan manusia tetapi di otaknya telah dibenamkan chip yang berisikan kecerdasan buatan seperti halnya yang dipasang pada robot-robot pintar sekarang ini.

Baca juga:  Tangani Kasus Victor Laiskodat, Pimpinan DPR Berharap MKD Segera Bersidang

Apakah pendidikan kita ke depan harus seperti itu, menghasilkan robot-robot pintar demi mengejar revolusi industri 4.0? Jika ini terjadi, gagal sudah apa yang menjadi cita-cita luhur para pendiri negara ini untuk mencerdaskan kehidupan bangsa ini seperti tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 pada alinea ke-4.

Juga yang tertuang dalam lagu kebangsaan ‘’Indonesia Raya’’, yakni ‘’…bangunlah badannya, bangunlah jiwanya untuk Indonesia Jaya’’. Karena ‘’generasi robot pintar’’ yang tidak memiliki moral etika, budi pekerti, cenderung menjadi ‘’robot penghancur’’ bangsanya sendiri. Ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) memang harus dikuasai. Tetapi iptek haruslah diimbangi dengan iman dan takwa (imtak), karena itulah tujuan Tuhan membenamkan otak kanan dan otak kiri di kepala manusia. Untuk menjaga keseimbangan, bukan untuk bersaing saling mendominasi satu sama lainnya.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *