Siswa membaca koran dalam kegiatan Bali Post Goes to School, Jumat (15/11). (BP/eka)

Oleh I Putu Sudibawa

Diskusi kecil sering menggedor dan mengutarakan rasa kekhawatiran terhadap penyakit rabun membaca (lumpuh menulis) telah melanda sebagian besar kita. Apresiasi diskusi ini sangat menyadari dan mengkhawatirkan hal ini.

Dalihnya adalah pembelajaran penguatan literasi di sekolah dan peran pembelajaran yang tidak menyenangkan. Benar. Pembelajaran di sekolah tidak banyak memberikan ruang kepada siswa untuk berekspresi dan berkreasi untuk mengembangkan daya nalar dan imajinasi untuk minat baca dan tulis.

Penulis sepakat agar pembelajaran lebih banyak mengajak siswa untuk membaca dan menulis. Di sinilah seorang guru sebagai mediator dalam siswa mengekspresikan setiap proses pembelajaran. Pun, bermuara pada perlunya peningkatan minat baca dan menulis siswa.

 

Minat baca yang tinggi dapat mendorong tumbuhnya kebiasaan membaca yang pada gilirannya diharapkan membuahkan keterampilan membaca. Keterampilan ini perlu dimiliki dan dikembangkan oleh setiap insan didik atau yang masih duduk di bangku sekolah. Dalam upaya meningkatkan minat baca siswa, peranan perpustakaan sekolah sangat penting.

Utamanya perannya sebagai penyedia jasa informasi, sumber informasi dan bahan belajar. Minat sering disebut juga sebagai ‘’interest’’. Minat merupakan gambaran sifat dan sikap ingin memiliki kecenderungan tertentu. Minat juga diartikan kecenderungan hati yang tinggi terhadap sesuatu dan keinginan yang kuat untuk melakukuan sesuatu.

Minat bukan bawaan dari lahir, melainkan dapat dipengaruhi oleh bakat. Minat diciptakan atau dibina agar tumbuh dan terasa sehingga menjadi kebiasaan. Melakukan sesuatu dengan terpaksa atau karena kewajiban walau dikerjakan dengan baik, belum tentu menunjukkan minat yang baik seperti membaca buku teks pelajaran.

Baca juga:  Anak, TV, dan Medsos

Pembelajaran dan literasi di sekolah tampaknya masih mempunyai kecenderungan menjadi pembelajaran oral (lisan). Siswa yang suka bicara, bercerita dimana dan kapan saja, belum siswa yang membaca, apalagi siswa yang menulis. Maka sekarang inilah kita perlu mengubah kebiasaan berbicara kita menjadi kebiasaan membaca dan menulis.

Berapa menitkah setiap hari kita membaca? Pendapat, orang yang mampu membaca dan menulis akan baik jika berbicara, tetapi suka berbicara belum tentu pembaca dan penulis yang baik. Pembaca yang baik belum tentu penulis yang baik, tetapi penulis yang baik tentu sebagai pembaca yang baik. Keterampilan berbicara, membaca, dan menulis sangat erat kaitannya. Hanya sayangnya mengapa siswa kita lebih suka berbicara? Oleh karena itu perlu pembinaan minat baca. Dengan pembinaan minat baca diharapkan adanya perubahan budaya yang mendasar pada siswa.

Kebiasaan membaca merupakan proses penyerapan informasi dan akan berpengaruh positif terhadap kreativitas seseorang. Membaca pada hakikatnya adalah menyebarkan gagasan dan upaya yang kreatif. Siklus membaca sebenarnya merupakan siklus mengalirnya ide pengarang ke dalam diri pembaca yang pada gilirannya akan mengalir ke seluruh penjuru dunia melalui buku atau rekaman informasi lain.

Membaca memiliki manfaat dan makna. Dengan banyak membaca kita akan memperoleh pengalaman dan pelajaran dari orang lain. Begitu pentingnya membaca bagi siswa sehingga masyarakat yang mempunyai peradaban maju adalah masyarakat yang gemar untuk mengetahui sesuatu dengan membaca kemudian menuliskan pengetahuannya.

Baca juga:  Merdeka dari “Overtourism”

Di sinilah diperlukan inovasi perwajahan bahan bacaan untuk siswa. Misalnya, inovasi buku dalam bentuk komik. Kalau berjalan-jalan di toko buku tentu kita akan mendapati buku-buku macam Einstein for Beginner (Mizan), Das Capital untuk Pemula (Insist), Filsafat untuk Pemula (Kanisius), Berani Gagal-Hikmah Kegagalan (Delapratasa Publishing), dan masih banyak lagi. Di sinilah menurut Irkham (2003) ada garis lurus yang bisa ditemukan antara komik sebagai jenis bacaan di satu sisi dan alat komunikasi di bagian lain.

Penulis menjumpai banyak bahan bacaan yang dikemas dalam bentuk komik. Komik Kuark, misalnya. Bahan bacaan sains yang ruwet dan sering membuat siswa enggan membaca dibuat komik sehingga menjadi menarik dan enak dibaca. Komik adalah bacaan dengan bahasa yang cair, tampilannya rileks, bikin tertawa, ringan tapi mencerdaskan. Dijamin setelah membaca komik, adrenalin siswa tidak akan naik, tetapi sebaliknya jantung siswa akan bekerja optimal. Hal itu lantaran kebahagiaan dan tawa yang siswa keluarkan.

Karena itu, penulis pun sepakat maraknya komikasi buku-buku serius merupakan solusi cerdas atas dua masalah, yakni minat baca yang rendah dan tuntutan profit yang proporsional. Inovasi perwajahan bahan bacaan dalam bentuk komik menjadikan motivasi sosiologis dan ekonomis bertemu dalam satu titik.

Dengan tampilan layaknya komik, pembaca dapat memanfaatkan waktu yang pendek untuk membaca buku serius tanpa kehilangan substansi sekaligus bisa refreshing. Kepentingan penerbit yaitu buku terjual dan tanggung jawab mencerdaskan masyarakat pun dapat dicapai bersama (Irkham, 2003).

Baca juga:  Perpustakaan dan Literasi Akar Rumput

Membaca hendaknya mencakup kemampuan yang semakin tinggi untuk memahami dan menghargai berbagai macam karangan. Lalu, menulis mencakup kemampuan yang semakin lama semakin unggul untuk menuangkan pikiran dan perasaan secara tertulis.

Menirukan sebuah epilog bahwa anggapan seperti minat baca masyarakat Jepang layak dijadikan model bagi Indonesia sudah saatnya dilihat ulang dan dicari duduk perkaranya agar kita tidak mencampuradukkan antara sikap realistis dan meneruskan khayal kolektif yang terbina luas.

Nampaknya membaca saja tidak cukup. Harus ada upaya melakukan perenungan-perenungan sekaligus jalan-jalan melihat realitas, sehingga pemahaman kita terhadap sesuatu akan utuh, tidak parsial. Sebab, tidak jarang yang tertulis dalam buku berbeda dari yang terjadi. Kegiatan membaca menjadi sarana awal seseorang mengenal kenyataan hidup. Tidak sekadar melejitkan ide tetapi juga menambah nilai meski sekecil apa pun.

Mari kita bersama untuk merenungkan tulisan Frans M. Parera (2002), salah satu anggota Dewan Buku Nasional. ‘’Kebanyakan kita hanya terbiasa dengan pengetahuan operasional, teknis, artistik, dan finansial hasil pertanyaan ‘bagaimana’. Perbukuan menantang kita memasuki horizon pengetahuan ‘mengapa’.

Kemampuan refleksi menjadi bekal untuk mengembangkan pertanyaan ‘mengapa’ dan perbukuan menjadi sarana untuk kemampuan refleksi itu.’’ Tentunya kegemaran membaca dan menulis mampu menjembataninya. Semoga rabun membaca dan lumpuhnya menulis segera terobati.

Penulis, Kepala SMAN 1 Rendang, Penerima Penghargaan Widya Pataka Bali 2005

 

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *