Ilustrasi. (BP/ant)

 

Oleh Ribut Lupiyanto

Joko Widodo (Jokowi) dan Ma’ruf Amin sudah sekitar sebulan menjabat Presiden dan Wakil Presiden RI periode 2019-2014. Perbaikan pembangunan dan ketegasan kepemimpinan diharapkan lebih baik mengingat sudah hilangnya beban politik di periode terakhirnya. Salah satunya tercermin dalam aspek implementasi demokrasi yang sehat dan produktif.

Demokrasi Indonesia berdasarkan standar internasional tahun ini dianggap menurun. Salah satunya dilihat dari aspek supremasi hukum. Kondisi menunjukkan minimnya penerimaan aspirasi publik dalam perumusan peraturan serta militer yang mulai merasuk ke ranah sipil.

Fondasi kuat sebenarnya sudah dimiliki bangsa ini, yaitu berlakunya Demokrasi Pancasila. Demokrasi Pancasila mampu menjadi jalan damai bagi kehidupan berbangsa yang berbineka. Minimnya peran oposisi ke depan diharapkan tetap menyehatkan demokrasi. Kepemimpinan Jokowi akan diuji dalam internalisasi dan aktualisasi Demokrasi Pancasila pada pemerintahan keduanya.

Finalnya Pancasila sebagai dasar negara tidak ada yang menyangkal. Filosofi dan aktualisasi Pancasila mesti terus dipupuk dan dibuktikan dalam kehidupan bernegara. Jaminan regenerasi juga mesti diperhatikan melalui transformasi dan internalisasi nilai. Fungsi pokok Pancasila sebagai dasar negara didasarkan pada Ketetapan MPRS No.XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundang Republik Indonesia (jo Ketetapan MPR No.V/MPR/1973, jo Ketetapan MPR No.IX/MPR/1978) yang menjelaskan bahwa Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum atau sumber tertib hukum Indonesia yang pada hakikatnya adalah merupakan suatu pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita hukum serta cita-cita moral yang meliputi suasana kebatinan serta watak dari bangsa Indonesia.

Baca juga:  Berkat Pola Pengelolaan Ini, Beberapa Pasar di Denpasar Berhasil Direvitalisasi

Kemudian mengenai Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum ini dijelaskan kembali dalam Ketetapan MPR No.III/MPR/2000 tentang sumber hukum dan tata urutan peraturan perundang-undangan pada Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan bahwa ‘’sumber hukum dasar nasional adalah Pancasila. Keberadaan Pancasila tersebut kembali dikukuhkan dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 yang kemudian diganti dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-undangan.

Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum memberi makna bahwa sistem hukum nasional wajib berlandaskan Pancasila. Akan tetapi, keberadaan Pancasila tersebut semakin tergerus dalam sistem hukum nasional. Hal demikian dilatarbelakangi oleh tiga alasan yaitu: pertama, adanya sikap resistensi terhadap Orde Baru yang memanfaatkan Pancasila demi kelanggengan kekuasaan yang bersifat otoriter. Kedua, menguatnya pluralisme hukum yang mengakibatkan terjadinya kontradiksi-kontradiksi atau disharmonisasi hukum. Ketiga, status Pancasila tersebut hanya dijadikan simbol dalam hukum.

Untuk itu, perlu dilakukan upaya-upaya untuk menerapkan Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum dalam sistem hukum nasional yaitu: pertama, menjadikan Pancasila sebagai suatu aliran hukum agar tidak terjadi lagi disharmonisasi hukum akibat diterapkannya pluralisme hukum. Kedua, mendudukkan Pancasila sebagai puncak peraturan perundang-undangan agar Pancasila memiliki daya mengikat terhadap segala jenis peraturan perundang-undangan sehingga tidak melanggar asas lex superiori derogat legi inferiori (Boa, 2018).

Baca juga:  Nyepi dan Ramadan

Jalan Aktualisasi

Banyak sekali forum telah digelar guna membahas Pancasila. Salah satunya rutin dilaksanakan Kongres Pancasila oleh UGM. Tahun ini masuk pada penyelenggaraan kesebelas yang digelar pada 15-16 Agustus 2019 silam.

Hal yang menarik adalah ketika Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) membuka Kongres Pancasila XI di UGM tersebut. JK menyebut Pancasila harus dimaknai dengan sederhana agar mudah dipahami dan langsung diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Pancasila diminta tidak dipersulit, tidak hanya menjadi tema seminar, dan jangan hanya jadi bahan indoktrinasi.

Menurut JK, Pancasila bukan sekadar slogan atau filsafat, tetapi merupakan fondasi bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Fondasi tidak perlu kelihatan, tetapi fondasi tersebutlah yang menjadikan negara. Penghayatan Pancasila dalam kehidupan masyarakat menjadi hal yang lebih penting dibandingkan penguraian Pancasila secara ilmiah yang justru menimbulkan berbagai penafsiran yang berbeda. Pancasila sebenarnya sangat sederhana dan tegas, tetapi diakui penafsiran dan pelaksanaannya bisa berbeda-beda. Forum-forum yang membahas Pancasila diharapkan dapat menghasilkan sesuatu yang sederhana, mudah dihayati dan mudah diukur.

Baca juga:  Pemkab Karangasem Revitalisasi Dua Pasar

Apa yang disampaikan JK di atas tentunya adalah otokritik bagi kita semua. Mendiskusikan Pancasila dibutuhkan dalam rangka doktrinasi, transformasi dan penyamaan persepsi nilai. Namun hal yang utama adalah konsekuensi atau tindak lanjutnya berupa aktualisasi dan implementasi di semua lini dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Ironi masih banyak terjadi di negeri ini. Korupsi masih merajalela, kesenjangan dan kemiskinan masih lebar, kriminalitas terus terjadi, dan banyak hal lagi. Padahal semua telah diwadahi oleh nilai dalam sila-sila Pancasila. Semua kita yang meresapi dan mengamalkannya hampir pasti akan terbebas dari segala ironi tersebut.

Pancasila adalah kita. Slogan ini tidak diakhiri tanda titik. Namun masih menjadi awalan yang membutuhkan pembuktian. Banyak sektor kehidupan yang menunggu pembuktian dari setiap komponen bangsa. Keadilan, kemakmuran, kesejahteraan dan keberlanjutan pembangunan tentu menjadi cita-cita dan bukan ilusi semata. Kuncinya adalah membuktikan dalam amal nyata. Semoga pemerintahan Jokowi-Ma’ruf mampu merealisasikan Demokrasi Pancasila yang berkedamaian dan menyejahterakan.

Penulis, Deputi Direktur  Center for Public Capacity Acceleration (C-PubliCA)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *