Mendagri, Tito Karnavian menerima dokumen RUU Provinsi Bali dari Gubernur Bali, Wayan Koster. (BP/dok)

 

Gubernur Bali telah mengajukan RUU Provinsi Bali. Sejumlah draf telah dibawa langsung ke Jakarta. Draf diserahkan ke DPR RI, DPD RI, Mendagri dan Menkum HAM. Penyerahan draf ‘’dikawal’’ komponen masyarakat Bali termasuk anggota DPR/DPD RI Dapil Bali.

RUU ini penting bagi Bali. Bukan semata karena UU yang kini melindungi Bali bergabung dengan NTB dan NTT. Bukan pula untuk memperjuangkan otonomi atau dana pusat. Bukan itu!

Keberadaan RUU ini, selain mempertegas posisi Bali dalam NKRI, juga mengatur hak-hak Bali terutama dalam sektor budaya. Dengan RUU yang kini diperjuangkan masuk Prolegnas 2020, pemerintah pusat mengakui kekhasan Bali. Demikian pula Bali akan menjadi satu kesatuan wilayah dan terwujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh krama Bali.

Apalagi Bali telah berkomitmen mengembangkan pariwisata budaya. Harus diakui pariwisata telah memberikan peningkatan ekonomi Bali. Namun, pariwisata ternyata juga menyumbang pergeseran perilaku yang cenderung konsumtif. Pariwisata telah berkontribusi munculnya pergeseran budaya di kalangan generasi muda.

Baca juga:  Memanfaatkan Medsos untuk Kesiapsiagaan Bencana

Kenyataannya memang seperti itu. Pariwisata budaya hanya jadi jargon. Sekadar untuk menunjukkan masih ada komitmen kuat merawat warisan nilai tradisional itu. Hal itu berbanding lurus dengan investasi masuk Bali.

Investasi yang tidak tahu tata krama justru menonjol dalam realitas potret pariwisata Bali belakangan ini. Praktik alih fungsi lahan pertanian makin merajalela demi investor.

Ketika alih fungsi lahan pertanian berlangsung marak, budaya bercocok tanam di lingkungan masyarakat makin tergerus. Konsekuensinya, nilai solidaritas atau kesetiakawanan sosial makin menurun. Sebaliknya, budaya baru kesetiakawanan sosial mulai diukur melalui pendekatan status sosial.

Celakanya, status sosial yang dibangun untuk merawat solidaritas itu cenderung bermotif ekonomi. Penghargaan terhadap seseorang mulai menggunakan ukuran budaya baru yang bernama uang atau pangkat. Kapitalisme merupakan unsur vital pariwisata yang cara kerjanya selama ini tidak dikendalikan secara benar.

Baca juga:  Pemimpin yang Sungguh-sungguh Memimpin

Pariwisata mengandung potensi kemakmuran, tetapi pada sisi lainnya mengandung potensi penghancur yang amat dahsyat. Proses kehancuran Bali merupakan efek dari cara kerja kapitalisme yang menyusup ke dalam berbagai kemasan konsep dan instrumen ideologi, seperti: pembangunan, pertumbuhan ekonomi, perdagangan, dan konsep pasar.

Pembangunan pariwisata menyerap gagasan kapitalisme secara total dan tanpa rem. Gagasan keadilan, demokratisasi ekonomi, pembangunan berbasis komunitas, pembangunan keberlanjutan (sustainability) sebagai rem kapitalisme diserap sekadar sebagai pemanis bibir.

Kenyataan itu merisaukan kita semua. Generasi masa kini sedang berada di persimpangan jalan budaya. Di satu sisi, mereka dituntut tetap berperilaku sesuai budaya warisan leluhurnya. Di sisi lain, mereka berhadapan dengan daya tarik budaya baru pariwisata yang mengancam jati dirinya sebagai generasi berbudaya Bali.

Baca juga:  Perjuangkan RUU Provinsi Bali, Gubernur Koster Panen Dukungan

Bangunan pariwisata Bali seharusnya mulai direvitalisasi agar kembali menimbang kekuatan budaya adiluhung leluhurnya. Pariwisata Bali jangan sampai menimbulkan gegar budaya bagi generasi baru.

Ada banyak ide ketika kita membicarakan masalah pariwisata. Pada masa lalu, Bali diperkenalkan sebagai daerah tujuan wisata internasional. Keunikan budaya menjadi daya tariknya. Interaksi sosialnya yang masih mementingkan keselarasan hidup dengan alam menjadi pedomannya.

Nah, inilah yang nanti diatur secara mandiri oleh Bali apabila RUU itu disahkan menjadi undang-undang. Jadi intervensi pusat dalam pengembangan pariwisata akan diminimalisir, sehingga Bali dikelola sesuai dengan karakter dan kepentingan budaya Bali.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *